CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

MY PICTURE'S

MY PICTURE'S
KEISTIMEWAAN SEORANG WANITA TERPANCAR DARI HIJABNYA

Jumat, 02 Juli 2010

Sarjana Antropologi Bukan Seorang Antropolog

Setiap menjalani sesuatu yang baru kita akan selalu dihadapkan pada suatu masalah, baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri kita sendiri. Begitu juga dalam memulai sebuah penelitian baik itu yang dilakukan di dalam ruangan maupun yang dijalani dilapangan. Dalam dunia antroplogi keluar masuk suatu kampung merupakan hal yang lumrah dan telah menjadi kebiasaan. Pindah dari satu desa ke desa yang lain atau satu nagari ke nagari yang lain adalah pekerjaan pokok yang harus dijalani. Tidak ada dalam kamus antropologiseorang antropolog duduk dibelakang meja dan berbicara tentang suatu tempat, tentu saja itu suatu yang sangat memalukan sekali (bagi mereka yang mengaku seorang antropolog). Namun pada perkembangannya dan kenyataannya pada saat sekarang, kecendrungan para antroplog muda Indonesia lebih menyukai cara penelitiandibelakang meja ini. Kegamangan memasuki lapangan penelitianmenjadi momok yang menakutkan bagi mereka. Banyak faktor yang membentuk dunia baru cara penelitian antropolog ini, diantaranya latar belakang mengapa mereka memilih kuliah didisiplin ilm antropologi.Kebanyakan mahasiswa yang kuliah dijurusan antropologi menjadikan jurusan antropologi sebagai pilihan yang kedua (bagi mereka yang mengikuti SPMB IPS) atau pilihan yang ketiga (bagi mereka yang mengikuti SPMB IPC). Kondisi ini diperparah lagi karena sebagian dari mereka yang lulus SPMB di jurusan antropologi bahkan sama sekali tidak mengenal apa itu antropologiatau paling tidak pernah belajar di SLTA tapi hanya sekedar mengikuti. Mungkin hal diatas hanya merupakan sebuah kasus bagi sebagian antroplog, dan tentu saja seiring dengan berjalannya perkuliahan minat mereka dapat terus berkembang. Permasalahan lain dan menurut penulis hal ini sangat mempengaruhi sikap mental antropolog muda Indonesia yaitu alumni dan metode perkuliahan yang di terima di kampus. Dari segi alumni yang dihasilkan, kebanyakan mereka bekerja dari satu proyek ke proyek yang lain. Hanya sebagian kecil saja yang memiliki pekerjaan tetap, kalaupun ada yang bekerja tetap tapi tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang dijalani semasa kuliah, kalaupun ada jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Hidup dari satu proyek ke proyek yang lain pada dasarnya bukanlah pekerjaan yang buruk, namun ketika proyek-proyek penelitian itu juga digeluti oleh staf pengajar antropologi (dosen) tentu saja hidup dari satu proyek ke proyek yang lain tersebut sangat tidak memungkinkan sekali. Coba jawab, siapa yang akan anda pilih untuk memberi anda ilmu beladiri, seorang murid atau guru dari murid tersebut ?. Saya rasa, saya tak perlu membantu anda menjawabnya. Melihat kondisi kebanyakan alumni antroplogi yang seperti ini, secara tidak langsung memberikan efek samping bagi mahasiswa yang sedang menimba ilmu dijurusan ini. Buat apa susah payah belajar keluar masuk kampung, pada kenyataannya proyek-proyek penelitian kebanyakan ditangani oleh para dosen, "lebeh baik kita dekat dengan mereka dan menjadi petugas data entri buat mereka, gajinya juga lumayan". Hal lain yang menjadi faktor penyebab dalam permasalahan ini yaitu metode pembelajaran yang diberikan dibangku perkuliahan. Melihat pada kenyataannya saat sekarang, mahasiswa dicekoki dengan berbagai metode dan teori, mereka dipaksa untuk paham tentang metodologi-metodologi dan teori-teori tanpa diberi kesempatan untuk berimprofisasi dalam metodologi tersebut atau mengembangkan sendiri teori-teori yang ada didalam kepala mereka. Sebagian mahasiswa mengaku hanya sekali saja mengikuti perkuliahan di lapangan, selebihnya sama sekali tidak pernah mengikuti perkuliahan di lapangan. Pertanyaanya jadi sangat sederhana sekali, bagaimana mungkin lulusan yang dihasilkan siap untuk bekerja di lapangan kalau mereka sama sekali tidak pernah diajarkan bagaimana cara bekerja dilapangan.

0 komentar: