CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

MY PICTURE'S

MY PICTURE'S
KEISTIMEWAAN SEORANG WANITA TERPANCAR DARI HIJABNYA

Minggu, 27 Juni 2010

DINAMIKA EKONOMI PEDESAAN DAN PERKOTAN

Tugas Kelompok

MK Dinamika Ekonomi Pedesaan Dan Perkotaan

DINAMIKA EKONOMI PEDESAAN DAN PERKOTAN

“Studi tentang budidaya jagung pada masyarakat Maluku”

KELOMPOK II

OLEH:

DWI SURTI JUNIDA E 511 08 253

YUNTI LIMBONG E 511 08 254

JURUSAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASAR

2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Makalah yang disusun ini berisikan tentang bagaimana pembudiyaan jagung dari yang dahulu hingga sekarang

Akhirnya,menaruh harapan besar semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Walaupun penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sangat membangun dalam rangka penyempurnaan makalah ini.

Makassar, Maret 2010

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………….

A. Latar Belakang………………………………………………………………….

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………….

C. Tujuan dan Kegunaan penelitian……………………………………….

D. Kegunaan Penelitian…………………………………………………………

BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………………..

A. Pemilihan Lahan

B Pembibitan

C. Penanaman

D. Pemupukan

E. Teknik Tenaga Kerja

F. Pemasaran

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………...

A. Kesimpulan………………………………………………………………………

B. Saran………………………………………………………………………………..

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kondisi ekonomi

Upaya melepaskan diri dari keadaan krisis ekonomi seperti tertuang pada program Jaring Pengaman Sosial, pembangunan pertanian diletakkan sebagai basis utama dalam upaya penanggulangan dampak krisis yang lebih parah. Sejalan dengan hal tersebut di atas, kebijaksanaan pembangunan pertanian saat ini adalah meletakkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan (people centered development). Modal pembangunan pertanian seiring dengan agenda reformasi pembangunan yaitu pem-bangunan yang demokratis dan lebih merata.

Pembangunan pertanian diharapkan agar terus dapat memantapkan swasembada pangan melalui pemba-ngunan sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agricultural development) dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dalam lingkungan yang lebih sempit, pembangunan pertanian diharapkan mampu meningkatkan akses masyarakat tani pada faktor produksi pertanian terutama sumber dana, teknologi, bibit unggul, pupuk dan sistem distribusi, sehingga berdampak langsung meningkatkan kesejahteraan petani .

Palawija adalah salah satu komoditas pertanian yang diharapkan oleh pemerintah mampu mengatasi dan membendung krisis pangan yang selanjutnya dapat dijadikan benteng terhadap ketahanan pangan nasional. Sebagai perwujudan program tersebut, pemerintah telah mencanangkan program GEMA PALAGUNG 2001 dan tanaman jagung diposisikan sebagai tanaman terpenting kedua setelah padi. Komoditas ini permintaannya di dalam negeri terus menunjukkan peningkatan. Hal ini tidak terlepas dari upaya diversifikasi penggunaan komoditas jagung yang terus berkembang.
Selain sebagai tanaman pangan kedua setelah beras, permintaan industri pakan ternak terhadap jagung pun terus meningkat, begitu pula permintaan industri lain yang menggunakan jagung sebagai bahan baku lainnya. Sementara ketersediaan komoditas ini di dalam negeri belum bisa mengimbangi kebutuhan jagung secara nasional, sehingga pemerintah masih harus mengimpor jagung tersebut dari beberapa negara produsen.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses pembudidayaan jagung?

C. Tujuan Dan Manfaat penelitian

1. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas diharapkan dapat mengetahui bagaimana proses pembudidayaan jagung

2. Manfaat

a. Dapat menjelaskan perbandingan tentang proses pembudidayaan jagung masa tradisional dan modern

BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengolahan Lahan


Lahan dibersihkan dari sisa tanaman sebelumnya, sisa tanaman yang cukup banyak dibakar, abunya dikembalikan ke dalam tanah, kemudian dicangkul dan diolah dengan bajak. Tanah yang akan ditanami dicangkul sedalam 15-20 cm, kemudian diratakan. Setiap 3 m dibuat saluran drainase sepanjang barisan tanaman. Lebar saluran 25-30 cm, kedalaman 20 cm. Saluran ini dibuat terutama pada tanah yang drainasenya jelek. Di daerah dengan pH kurang dari 5, tanah dikapur (dosis 300 kg/ha) dengan cara menyebar kapur merata/pada barisan tanaman, + 1 bulan sebelum tanam. Sebelum tanam sebaiknya lahan disebari GLIO yang sudah dicampur dengan pupuk kandang matang untuk mencegah penyakit layu pada tanaman jagung. Hal ini berlaku pada masyarakat tradisional hingga sekarang masih berlaku. Pada masyarakat tertentu pemilihan lahan di sepakati oleh seluruh anggota masyarakat setempat demi terlaksanakannya proses pengolahannya.

Menurut Keesing, dalam berbagai unit produksi masyarakat seperti regu berkebun yang akan menggarap tanah luas yang dipilih sebagai kebun mencakup semua penghuni dusun. Regu kebun mengerjakan beberapa macam pekerjaan secara kolektif, dibawah pimpinan dukun kebun yang juga seorang ahli teknik. Kebun seluruhnya dibagi menjadi petak-petak kecil (Keesing, 1989:180).

Pekerjaan komunal demikian

”berlangsung bila mana semua penghuni dusun sepakat melaksanakan satu tahap berkebun secara bersama-sama, atas dasar resiprositas”(Malinowski, 1922:161).

“Dalam proses pemilihan lahan pertanian, menurut Weiner adanya penentuan para penanam dengan cermat membentuk kelompok dimulai ketika kebun di garap, lahan tersebut di tentukan sebagai kebun pangan”. (Weiner, 1976: 147).

“Orang-orang Trobriand, mereka dihimpun dalam berbagai kelompok yang di dasarkan pada garis keturunan yang berperan seperti halnya perusahaan, dalam pemilikan tanah secara bersama-sama (orang Maring membentuk kelompok ini berdasarkan keturunan menurut garis keturunan menurut garis keturunan wanita)”. Sama halnya pada masyarakat Tsembaga Maring dari Irian yang dikaji oleh Rappoort(Keesing)

B. Pembenihan
Pada masyarakat modern umumnya benih digunakan yang bermutu tinggi baik genetik, fisik dan fisiologi (benih hibryda). Daya tumbuh benih lebih dari 90%. Kebutuhan benih + 20-30 kg/ha. Sebelum benih ditanam, sebaiknya direndam dalam Poc NASA (dosis 2-4 cc/lt air semalam).
Pada tanah berat dengan struktur mantap pengolahan tanah dilakukan 2 kali, sedang untuk tanah ringan (porous) seperti tanah Alfisol, Regosol, Etisol, dan Oxixol, dapat dilakukan pengolahan tanah minimum, yaitu pengolahan tanah sepanjang baris tanaman atau tanpa pengolahan tanah dan hanya dilakukan pendaringan (pengguludan) pada saat tanaman berumur sekitar 25 hari.

Beberapa varietas unggul dapat digunakan sebagai alternatif. Untuk daerah-daerah tertentu yang lebih menyukai varietas lokal karena alasan rasa dan umur panen, varietas lokal masih dapat ditanam tetapi cara budidaya-nya harus diperbaiki.

Varietas bersari bebas:

Varietas

Umur Panen (hari)

Potensi hasil (t/ha)

Tahun Pelepasan

1. Arjuna

90

4,3

1980

2.Wisanggemi

90

6.0

1995

3. Bisma

96

6.5

1995

97

6,5

1997

Varietas Hibrida

Varietas

Umur Panen (hari)

Potensi hasil (t/ha)

Tahun Pelepasan

1. C-2

97

6,7

1989

2. C-3

95

6,4

1992

3. CPI-2

97

6,2

1992

4. Semar-3

98

6,4

1992

5. BISI-1

92

7,0

1995

6. BISI-1

103

8,9

1995

7. Semar-3

100-105

8,5

1996

8. Semar-6

96

9,0

1996

9. Semar-7

100

8,8

1996

10. Semar-8

100

8,8

1996

11. Semar-9

100

9,0

1996

12. Semar-4

90

8,5

1999

13. Semar-5

98

9,0

1999

Ket: Varietas-varietas tersebut tahan terhadap penyakit bulai dan karat daun.

Pada masyarakat terdahulu dalam budi daya tanaman, pengolahan tanahnya merupakan kegiatan yang paling banyak menyerap energi. Pengolahan tanah diperlukan untuk menciptakan lingkungan fisik tanah yang kondusif bagi pertumbuhan tanaman. (Oisat, 2001) membagi pengolahan tanah menjadi dua bagian, yaitu pengolahan konvensional dan konservasi.

1. Pengolahan Konvensional

Secara konvensional, pengolahan tanah dilakukan dengan cangkul, bajak, garu, atau peralatan mekanis untuk menyiapkan lahan bagi budi daya tanaman. Keuntungan pengolahan tanah secara konvensional di antaranya adalah memperbaiki erosi tanah, mengendalikan gulma, dan memudahkan aktivitas budidaya lainnya. Pengolahan tanah secara konvensional juga mempunyai kelemahan, diantaranya merusak struktur permukaan tanah, meningkatkan peluang erosi, dan penguapan lengas tanah, dan membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak.

2. Pengolahan Konservasi

Pada pengolahan tanah konservasi, sisa tanaman sebelumnya dihamparkan di permukaan tanah. Keuntungan dari cara ini adalah menghambat evaporasi, mengurangi erosi, meningkatkan kandungan bahan organic tanah, dan menekan biaya tenaga kerja (Oisat, 2001). Kelemahan dari pengolahan tanah konservasi adalah populasi hama kemungkinan meningkat, bahan organik (sisa –sisa tanaman jagung) terkonsentrasi pada lapisan atas tanah, dan membutuhkan waktu yang lama untuk meningkatkan kesuburan tanah. Akhir-akhir ini pengolahan tanah minimum (minimum tillage) merupakan salah satu bentuk pengolahan tanah konservasi yang telah banyak diterapkan dalam budi daya jagung.

A. Alat Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah pada umumnya dilakukan dua kali baik secara tradisional maupun modern. Pada pengolahan pertama, tanah dicangkul atau dibajak dan dibalik sehingga sisa-sisa tanaman terbenam, dan selanjutnya mengalami pembusukan. Alat yang umum digunakan adalah cangkul, garpu, dan bajak singkal/rotari. Cangkul dan garpu merupakan alat sederhana yang dioperasikan oleh tenaga manusia. Pengolahan tanah dengan cangkul membutuhkan waktu sekitar 44 jam kerja/ha. Pada msayrakat modern bajak singkal dan bajak rotari umumnya digunakan untuk pengolahan pertama. Tenaga penarik bajak dapat berupa traktor tangan berkekuatan 5-10 tenaga kuda (TK), traktor mini (12,5-12 TK), dan traktor besar (30-80 TK). Jumlah bajak yang dapat digandengkan ke traktor bergantung pada sumber tenaga traktor. Traktor tangan biasanya hanya menggunakan satu bajak, traktor mini 1-2 bajak, dan traktor besar 3-8 bajak. Berbeda dengan bajak singkal, bajak rotari dilengkapi dengan komponen pemutar yang dapat langsung menghancurkan dan meratakan tanah. Namun demikian, kedalaman olah bajak rotari dangkal sehingga lebih cocok digunakan untuk mengolah tanah bertekstur ringan. Sedangkan secara tadisional umumnya mereka menggunakan binatang seperti kerbau untuk menggarap tanah olahan.

Hal ini tidak jauh beda dalam pengolahan tanah pada masyarakat Trobriand, menurut Keesing:

“umumnya mereka menggunakan piranti-piranti sederhana seperti tugal runcinguntuk menggali dan menyiangi, kapak serta beliung batu untuk menebang pohon (Keesing, 1989:181).

C. Teknik Penanaman

“Kaum lelaki membersihkan semak-semak, kaum lelaki dan wanita membersihkan tanah dan mempersiapkannya untuk di tanami, kaum lelaki menanam dan kaum wanita menyiangi, kaum pria merawat tanaman yang tidak tumbuh subur dan kedua jenis kelamin tersebut mengambil hasil panen bersama”(Keesing, 1989 :181).

Dalam teknik penanaman terdapat beberapa proses, yakni:
1. Penentuan Pola Tanaman, beberapa pola tanam yang biasa diterapkan :

a. Tumpang sari (intercropping), melakukan penanaman lebih dari 1 tanaman (umur sama atau berbeda).

b. Tumpang gilir (Multiple Cropping), dilakukan secara beruntun sepanjang tahun dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain untuk mendapat keuntungan maksimum.

c. Tanaman Bersisipan (Relay Cropping): pola tanam dengan menyisipkan satu atau beberapa jenis tanaman selain tanaman pokok (dalam waktu tanam yang bersamaan atau waktu yang berbeda).

d. Tanaman Campuran (Mixed Cropping) : penanaman terdiri beberapa tanaman dan tumbuh tanpa diatur jarak tanam maupun larikannya, semua tercampur jadi satu. Lahan efisien, tetapi riskan terhadap ancaman hama dan penyakit..

2. Lubang Tanam dan Cara Tanam

Lubang tanam ditugal, kedalaman 3-5 cm, dan tiap lubang hanya diisi 1 butir benih. Jarak tanam jagung disesuaikan dengan umur panennya, semakin panjang umurnya jarak tanam semakin lebar. Jagung berumur panen lebih 100 hari sejak penanaman, jarak tanamnya 40x100 cm (2 tanaman /lubang). Jagung berumur panen 80-100 hari, jarak tanamnya 25x75 cm (1 tanaman/lubang). Panen < 80 hari, jarak tanamnya 20x50 cm (1 tanaman/lubang). Pada saat penanaman sebaiknya tanah dalam keadaan lembab dan tidak tergenang. Apabila tanah kering, perlu diairi dahulu.

3. Penjarangan dan Penyulaman

Tanaman yang tumbuhnya paling tidak baik, dipotong dengan pisau atau gunting tajam tepat di atas permukaan tanah. Pencabutan tanaman secara langsung tidak boleh dilakukan, karena akan melukai akar tanaman lain yang akan dibiarkan tumbuh. Penyulaman bertujuan untuk mengganti benih yang tidak tumbuh/mati, dilakukan 7-10 hari sesudah tanam (hst). Jumlah dan jenis benih serta perlakuan dalam penyulaman sama dengan sewaktu penanaman.


4. Penyiangan Dan
Pembumbunan

Penyiangan dilakukan 2 minggu sekali. Penyiangan pada tanaman jagung yang masih muda dapat dengan tangan atau cangkul kecil, garpu dll. Penyiangan jangan sampai mengganggu perakaran tanaman yang pada umur tersebut masih belum cukup kuat mencengkeram tanah maka dilakukan setelah tanaman berumur 15 hari. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan untuk memperkokoh posisi batang agar tanaman tidak mudah rebah dan menutup akar yang bermunculan di atas permukaan tanah karena adanya aerasi. Dilakukan saat tanaman berumur 6 minggu, bersamaan dengan waktu pemupukan. Tanah di sebelah kanan dan kiri barisan tanaman diuruk dengan cangkul, kemudian ditimbun di barisan tanaman. Dengan cara ini akan terbentuk guludan yang memanjang.

Pada masyarakat modern penyiangan dilakukan 2 kali, penyiangan I pada umur 10-15 hari dan penyiangan ke II pada umur 25-28 hari bersamaan dengan dilakukannya pembumbunan dan pemupukan ke II. Pada daerah yang sulit tenaga kerja, gulma dapat dikendalikan dengan penyemprotan herbisida pra tumbuh seperti a.l : Goal, Saturn-D, Gramaxone, Command, Ronstar dll. Dengan dosis sesuai anjuran Coammad.

5. Pengairan dan Penyiraman

Setelah benih ditanam, dilakukan penyiraman secukupnya, kecuali bila tanah telah lembab, tujuannya menjaga agar tanaman tidak layu. Namun menjelang tanaman berbunga, air yang diperlukan lebih besar sehingga perlu dialirkan air pada parit-parit di antara bumbunan tanaman jagung.

Masyarakat sekarang (modern) menggunakan pompa dan pemompaan pompa air merupakan alat pengangkut air dari suatu tempat ke tempat lain. Tujuan pemompaan adalah untuk menyediakan air bagi tanaman yang karena alasan teknis tidak dapat diairi. Terdapat berbagai jenis pompa di antaranya pompa aksial, pompa sentrifugal, dan pompa piston. Pompa aksial mempunyai debit pemompaan yang besar namun ketinggian pemompaan terbatas (< 5 m). Pompa sentrifugal, meskipun mempunyai debit yang lebih rendah dibandingkan pompa aksial, namun ketinggian pemompaannya tinggi. Oleh karena itu, faktor kedalaman sumber air, tujuan pemompaan, dan luas areal yang akan diairi perlu dipertimbangkan dalam memilih pompa. Pompa sentrifugal juga telah dirancang dan diuji kinerjanya oleh BB Mektan. Pompa tersebut diberi nama pompa air model AP-S100 dan digunakan untuk irigasi maupun drainase di lahan pertanian. Pompa ini memiliki impeller dan casing dengan desain yang berbeda dengan pompa yang ada dipasaran. Bobot pompa sangat ringan dengan efisensi pemompaan mencapai 72%. Selain itu masyarakat sekarang (modern) memiliki cara tanam yang diusahakan dengan jarak yang teratur, baik dengan ditugal maupun mengikuti alur bajak. Populasi tanaman optimal berkisar antara 62.500 - 100.000 tanaman/ha, dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm, 2 tanaman /lubang atau 75 cm x 20 cm,1 tanaman/lubang. Untuk varietas lokal pada musim penghujan jarak tanam 75 cm x 30 cm,2 tanaman/lubang. Untuk jagung hibrida, jarak tanam 75 cm x 20 cm, 1 tanaman/lubang dapat memberikan pertumbuhan dan hasil produksi yang lebih baik. Penanaman dapat juga dilakukan dengan sistem dua baris (double row), yaitu jarak tanam (100 cm x 50 cm) x 20 cm dengan 1 tanaman/lubang.

Namun hal ini berbeda dengan masyrakat tradisional , dimana mereka menganggap bahwa jagung termasuk tanaman yang perakarannya dangkal sehingga memungkinkan rebah. Untuk memperkuat perakaran, tanaman jagung perlu dibumbun. Pembumbunan sekaligus berfungsi sebagai media penyalur irigasi dalam bentuk alur-alur, terutama apabila jagung diusahakan pada musim kemarau di mana air tanah sangat terbatas . Pembumbunan tanaman umumnya dilakukan petani dengan menggunakan cangkul, tanah di sekitar tanaman diambil dengan cangkul dan dipindahkan ke sekitar perakaran tanaman. Cara pembumbunan seperti ini efektif memperkuat perakaran tanaman. Ditinjau dari produktivitas kerja, kegiatan pembumbunan konvensional ini sangat melelahkan dan berbiaya tinggi, untuk membumbun lahan seluas 1 ha diperlukan waktu 176 jam. Kalau diasumsikan kapasitas kerja petani 8 jam/hari, maka diperlukan waktu 21 hari untuk pembumbunan (Aqil et al. 2004). Selain itu, kedalaman pembumbunan dengan cangkul hanya 9-10 cm, sehingga pengairan yang 270 Jagung: “Teknik Produksi dan Pengembangan diberikan melimpas di atas alur dan menggenangi seluruh lahan. Cara ini tentu tidak efisien dalam penggunaan air. Hasil penelitian Balitsereal pada tahun 2002 menunjukkan efisiensi irigasi oleh petani hanya 46%. Dalam upaya perbaikan sistem pembumbunan dan pengairan di tingkat petani telah dilakukan perancangan dan pembuatan alat pembuat alur irigasi/pembumbun model PAI-M1 dan PAI-M2. Perbandingan kinerja alat yang dibuat dengan pembumbunan menggunakan cangkul atau bajak singkal yang ditarik ternak disajikan pada masyarakat tradisional. Ditinjau dari kapasitas kerja, lebar dan kedalaman bumbun, maka alat pembuat alur lebih efektif dibandingkan menggunakan cangkul atau bajak singkal ditarik ternak. Kedalaman alur pembumbunan yang mencapai 22 cm memungkinkan tanaman tumbuh lebih cepat dan tahan rebah. Biaya yang harus dikeluarkan petani untuk pembumbunan juga berkurang dari Rp 200.000 menjadi Rp 35.600/ha. Alat pembuat alur irigasi/pembumbun jagung model PAI-M1 dan PAI-M2. Kapasitas kerja, dimensi alur, dan biaya operasional alsin pembuat alur model PAI-M2, PAI-M1, cangkul, dan bajak singkal/ternak pada tanah bertekstur ringan”. (Aqil et ql. 2004)

Alur irigasi

- Lebar alur (cm) 34,9 3 5 3 5 2 7

- Kedalaman (cm) 22,4 22,8 9 1 6

- Efisiensi irigasi (%) 90,9 90,0 46,2 -

Biaya operasional (Rp/ha) 85.414 35.600 330.000 200.000

Hal ini tidak beda dengan proses pertukaran tanaman di kebun pertukaran pada masyarakat Trobriand, Weiber menjelaskan bahwa “seorang pria menanam dan merawat kebun untuk pertukaran tidak memiliki hasil kebun yang bersangkutan. Dari saat penanaman di masyarakat Trobriand”. Lebih lanjut, bahan untuk bercocok tanam tersebut di sediakan oleh calon penerima hasil penanaman (di sediakan dari panenan tahun lalu), sehingga apa yang di hadiahkan oleh orang yang menanam dan merawat kebun pertukaran tersebut adalah kerja yang di wujudkannya. (Weiber, 1976 :147).

Namun Malinowski tidak mampu membedakan dengan jelas antara kebun pangan kebun pertukaran (karena dia tidak tertarik pada hal yang terakhir). Hal ini menyebabkan dia mengabaikan teka-teki nyata bahwa

“seorang pria menggunakan mantera kebun hanya di kebun yang dia tanami untuk orang lain, tidak ada yang menggunakan mantera untuk kebun pangan kebutuhan sendiri, karena hasi kebun ini langsung di perlukan sebagai pangan dan tidak menunjang pelestarian hubungan yang formal. (Weiber, 1976 : 217).

Pada masyarakat tradisional peralatan tanam tradisional dan semi mekanis. Penanaman benih jagung yang umum dilakukan petani adalah dengan tugal. Cara ini memerlukan banyak waktu, tenaga, dan melelahkan. Beberapa modifikasi telah dilakukan terhadap alat tanam tugal, di antaranya menghasilkan alat tanam modifikasi model V. Bagian utama tugal yang dimodifikasi adalah:

• Tangkai kendali

• Kotak benih

• Pengatur pengeluaran benih

Saluran benih

Mekanisme kerja alat tugal modifikasi ini adalah pada saat ditugalkan ketanah dan tangkai kendalinya didorong ke depan maka tangkai penguakakan menguak tanah dan sekaligus memberi tanda pada permukaan tanah dan mendorong tuas yang juga menggerakkan papan benih sehingga benih yang ada dalam lubang papan benih akan jatuh ke lubang tegalan di tanah. Apabila alat tanam diangkat, tanah akan terkuak dan menutup kembali dan papan benih akan kembali ke posisi semula. Cara penggunaan alat tanam ini cukup sederhana, cukup dengan memegang tangkai kendali dan menugalkannya ke dalam tanah, kemudian mendorong tangkai kendali ke depan secukupnya, lalu mengangkatnya kembali. Kapasitas penugalannya adalah 60 jam/ha, lebih baik dari cara tradisional yang membutuhkan waktu 85 jam/ha. (Subandi et al. 2002).

D. Pemupukan



Waktu

Dosis Pupuk Makro (per ha)



Dosis POCNASA

Urea (kg)

TSP (kg)

KCl (kg)


Perendaman benih


-


-


-


2 - 4 cc/ lt air


Pupuk dasar


120


80


25


20 - 40 tutup/tangki
( siram merata )

2 minggu

-


-


-

4 - 8 tutup/tangki
( semprot/siram)


Susulan I (3 minggu)


115


-


55



-


4 minggu


-


-


-


4 - 8 tutup/tangki
( semprot/siram )

Susulan II (6minggu)


115


-


-

4 - 8 tutup/tangki
( semprot/siram )

Catatan : akan lebih baik pupuk dasar menggunakan Super Nasa dosis ± 1 botol/1000 m2 dengan cara :

- alternatif 1 : 1 botol super nasa diencerkan dalam 3 lt air (jadi larutan induk). Kemudian setiap 50 lt air diberi 200 cc larutan induk tadi untuk menyiram bedengan.

- alternatif 2 : 1 gembor (10-15 lt) beri 1 sendok peres makan Super Nasa untuk menyiram + 10 m bedengan.

Masyarakat modern menggunakannya dengan cara pemupukan ditugal ± 7 cm disekitar tanaman atau goretan (parit) yang dibuah disamping tanaman sepanjang barisan, setelah pupuk diberikan kemudian ditutup. Semua dosis SP-36 dan KCI dan 1/3 dosis urea diberikan saat tanam, 2/3 bagian urea diberikan pada umur 4 minggu. Apabila menggunakan urea tablet, pupuk diberikan pada umur tanaman 10 hari. Dosis pupuk disesuaikan dengan Brosur Acuan Rekomendasi Pemupukan Spesifik Lokasi Untuk Jagung yang dikeluarkan oleh Dinas Tanaman Pangan Setempat. Dilakukan dengan menerapkan kaidah pengendalian hama terpadu (PHT) yang komponen-nya terdiri dari penanaman varietas tahan pengelolaan kultur teknis yang tepat dan penggunaan pestisida. Pengendalian lalat bibit : dengan Karbofuran (misal : Furadan, Dharmafur, Regent dll). Karbofunen diberikan 4-5 butir bersamaan tanam ditempatkan dalam lubang tanaman. Pengendalian Penggerek Pucuk dengan Karbofuran ditempatkan pada titik tumbuh. Pengendalian penyakit Bulai dengan menggunakan varietas tahan dan perlakuan benih 5 gram Ridomil setiap 1 kg benih. Kecepatan kerja alat penanam yang ditarik oleh traktor roda empat maupun roda dua bervariasi antara 1,3-2 km/jam. Jarak penanaman yang dihasilkan rata-rata 40-50 cm dengan jumlah benih yang tertanam dua biji/lubang. Namun demikian, alat ini hanya dapat beroperasi dengan baik apabilpengolahan tanah dilakukan sempurna (Pitoyo dan Sulistyosari 2006).

Dalam hal pemupukan pada masyarakat terdahulu (tradisiona) diperlukan untuk meningkatkan kandungan hara dalam tanah agar tanaman memberikan hasil optimal. Salah satu faktor penting dalam pemupukan tanaman adalah kedalaman penempatan pupuk. Pemberian pupuk dengan cara membenamkan ke dalam tanah memberikan hasil yang lebih tinggi dibanding apabila pupuk diletakkan di atas tanah. Prinsip dan mekanisme kerja alat pemupuk hampir sama dengan alat tanam, yang terdiri atas komponen pembuka alur, penjatuh pupuk, penutup alur, dan kotak pupuk. Balitsereal telah mengembangkan alat pembenam pupuk tipe dorong untuk lahan kering (Gambar 6). Kapasitas kerja alat pemupuk tipe dorong tersebut adalah 0,123 ha/jam, lebih tinggi disbanding alat tugal tradisional yang hanya 0,030 ha/jam (Abidin dan Prastowo 1990).

E. Teknik Penentuan Tenaga Kerja

“Manusia bekerja secara berkelompok, untuk mencapai tujuan yang menyangkut kepentingan bersama maupun individu dan produk kerja mereka menembus berbagai jaringan social, diberi makna dan nilai oleh dan dalam kelompok”(Keesing, 1989 : 178).

Demikian pun halnya pada pada masyarakat tradisional dalam pesta panen misalnya, pengerjaan hasil pertanian dilakukan dengan berkelompok atas dasar garis keturunan atau kekerabatan, sepeerti halnya pada masyarakat Kajang. Berbeda dengan masyarakat sekarang penentuan tenaga kerjanya, tidak di dasarkan pada garis keturunan melainkan berdasarkan tingkat kemampuan perekonomian (misalnya yang memiliki banyak materi atau kedudukan ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dan sebaliknya).

Pada masyarakat Trobriand, Keesing menggambarkan bahwa:

“Fase kerja kolektif ini oleh regu berkebun disebut sebagai tanggogula. Setiap pria mendapat bagian beberapa petak dari kebun yang luas yang digarap oleh seluruh anggota keluarga. Pekerjaan sehari dilaksanakan oleh setiap keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak, kerja warga rumah tangga yang disebut tavile’i. Untuk berbagai pekerjaan lainnya, beberapa kelompok yang lebih besar dibentuk. Untuk beberapa macam pekerjaaan, warga dari beberapa rumah tangga, atau kadangkala regu berkebun secara keseluruhan akan menggabungkan tenaga mereka guna menggarap pekerjaan tersebut secara kolektif yang bila mereka kerjakan sendiri-sendiri akan berlangsung jauh lebih lama dan tidak menunjukkan adanya rasa persahabatan”(Keesing, 1989:180)

Hal ini berlaku pada proses pembagian kerja perkelompok karena menurut Malinowski

“Biasanya setiap rumah tangga, dimana pekerjaan yang bila mereka kerjakan sendiri akan membutuhkan waktu berhari-hari bisa diselesaikan dalam satu hari saja oleh kelompok kerja yang beranggota lebih banyak, sekaligus pihak rumah yang di tempati menyediakan makanan bagi para pekerja yang mengerjakan petak demi petak, selain itu tidak ada pembayaran yang berarti yang diberikan”(Malinoswki, 1922:161).

Semua orang dewasa di kepulauan Trobriand mengambil bagian secara penuh dalam produksi pertanian. Pembagian kerja pada dasarnya menurut jenis kelamin dan usia. Kaum lelaki membersihkan semak-semak, kaum lelaki dan wanita membersihkan tanah dan mempersiapkannya untuk ditanami, kaum lelaki menanam dan kaum wanita menyiangi, kaum pria merawat tananam yang tidak cukup subur, dan kedua jenis kelamin tersebut mengambil bagina dalam panen. Piranti mereka sederhana: tugal runcing untuk menyiangi, kapak serta beliunf batu untuk menebang pohon. (Keesing).

Pada masyarakat yang tinggal di Maluku Selatan, pembagian kerja
mengikuti logika hulu-hilir dalam bentuk belah ketupat. Hulu biasanya berada di utara. Bagian kiri dari belah ketupat, secara vertikal, ditempati kaum tua (kampung 1) sementara sisi kanan adalah kaum muda (kampung 3). Ketika belah ketupat dibagi dua, secara horisontal, kelompok tua dan muda yang berada di bagian atas memiliki status sosial lebih tinggi dibanding kelompok tua (kampung 2) dan muda di bawah (kampung 4). Kampung 1 & 3 sangat dipatuhi, tetapi mereka pasif dalam arti tidak menjalankan pemerintahan, hanya melaksanakan upacara adat, ritual dan norma bersama. Kekuasaan di seluruh kesatuan dikerjakan kampung 2 walau kampung 3 menduduki posisi yang lebih terhormat. Justru karena hal itu kampung 3 hanya menjalankan fungsi sebagai eksekutif internal sementara kampung 4 berlaku sebagai penjaga keamanan kampung baik secara internal maupun eksternal. Sementara masyarakat pola lima (belah ketupat dengan titik tengah) seperti Jawa, mengenal mancapat. Sistem ini merumuskan kedudukan pemimpin sebagai sentrum yang dikelilingi oleh wilayah satelit.
Kiranya sistem kerja yang dibangun dari kosmologi dan mitologi-genesis macam itulah yang mendorong merakyatnya ritus ataupun upacara-upacara penghormatan. Misalkan saja kepercayaan padi berasal dari tubuh Dewi Sri membuat masyarakat Jawa melangsungkan upacara pada awal tanam dan panen padi pada Dewi tersebut; lalu upacara meminta hujan dengan gamelan; sistem perhitungan masa tanam yang dikenal masyarakat Jawa dengan sebutan pranata mangsa (di Karo, pranata mangsa dilambangkan dengan apa yang hari ini kita kenal sebagai bintang Daud atau Yahudi); atau digunakannya petung primbon untuk menangkap maling pun sebaliknya, menentukan ‘saat’ yang paling tepat agar selamat waktu mencoleng.

F. Pemasaran

Pada masyarakat kepulauan Trobriand Malinowski melihat

“Ketika hasil panen banyak di dapatkan, mereka lebih banyak membagikannya kepada kerabat saudara perempuan dan ipar lelaki dari pada yang mereka konsumsi sebagai makanan pokok sehari-hari (Malinowski, 1922:182).

Ketika hasil panen telah di kumpulkan maka hal tersebut sudah siap di pasarkan dan memberikan upah kepada kelompok atau para penanam yang telah si sepakati sebelumnya.

Dalam proses kerja panen berkelompok pada masyarakat tertentu membagikan hasil panen yang di dapatkan merupakan hal yang sering di lakukan untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok ketimbang di jual.

Menurut Malinowski menggunakan istilah Trobriand urigugu untuk menyebut hadiah tahunan berupa ubi rambat terbaik yang di hasilkan oleh sebuah rumah tangga untuk rumah tangga lainnya idealnya, untuk rumah tangga saudara perempuan dan ipar lelaki pihak lelaki pada saat hasil panen telah ada. Menurut Malinowski “Keuntungan yang di dapatkan dari hasil panen di bagi rata kepada para penanam”.

Selain itu terdapat pula pada masyarakat tertentu upacara-upacara pada saat pasca panen mutlak di adakan, menurut Keesing pada masyarakat Maring di Irian:

“proses upacara di lengkapi dengan jampi-jampi dan yang memimpinnya adalah dukun kebun” (Keesing, 1989:184).

Di Maluku Utara, tepatnya dikecamatan sahu Kabupaten Halmahera barat, menurut tradisi masyarakat setempat, "rumah sasadu" ini sering digunakan masyarakat dimasing-masing desa tersebut ketika selesai kegiatan panen raya masyarakat setempat sebagai ungkapan rasa syukur terhadap yang maha kuasa. Berbagai macam makanan adat ,seperti halnya, jaha kam ( nasi yang dikukus didalam bambu dengan bungkusan daun pisang), bira dada, (nasi kuning/tumpeng), dan makanan adat lainnya, tak ketinggalan juga dalam acara panen raya yang dilaksanakn ritualnya di rumah adat sasadu, para undangan disuguhkan minuman Cap tikus , lahang, atau tuak/arak( minuman lokal yang beralkohol yang hasilkan dari tetesan air pohon enau). Kegiatan dimaksud dilaksanakan selama seminggu, dengan iringan beduk, bunyian gong, nyanyian moro-moro dan ungkapan dolabololo yang sepertinya mempunyai tafsiran filosofis untuk mengungkapkan rasa syukur kepada sang kuasa atas nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Uniknya dalam kegiatan ini, bunyian beduk, bunyian gong serta nyanyian moro-moro dan dolabolo tak pernah henti selama seminggu. selama seminggu dalam acara itupula tidak pernah berhenti disuguhkan minuman beralkohol sepertihalnya captikus dan lahang oleh masyarakat yang mengikuti kegiatan dimaksud. Tapi anehnya selama seminggu, mereka tidak pernah mabuk, bahkan tidak membuat kacau suasana ritual adat tersebut. Disamping sebagai tempat melaksanakan upacara adat istiadat pada masyarakat sahu, "sasadu" sering juga digunakan sebagai tempat pertemuan masyarakat setempat. Tarian Khas Legu Sahu

Ada yang terlupakan dari penjelasan tersebut diatas. sebenarnya sebelum memulai acara syukuran pasca panen oleh masyarakat setempat di rumah "sasadu", diawali dengan sebuah tarian lokal yang dikenal dengan tarian legu-legu. Tarian lokal khas masyarakat sahu ini pernah di undang oleh pemerintah belanda untuk ikut merayakan kegiatan festifal tong-tong yang dilaksanakan pemerintah belanda satu tahun yang lalu. Bukan tarian perang seperti halnya tarian soya-soya, cakalela dll, namun tarian legu-legu adalah khas "tarian damai" yang hanya terdapat di maluku utara.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada masa dahulu masyarakat menggunakan jagung sebagai bahan makanan pokok, status kepemilikan lahan tidak jelas (tanah adat) dengan daerah beriklim kering. Wilayah ini mencakup Kabupaten MTB, khususnya Kecamatan Pulau-pulau Terselatan, Lemola (Leti Moa Lakor), dan Pulau Babar. Pada wilayah ini menanam jagung merupakan kebutuhan (berapapun hasil yang diperoleh) karena jagung merupakan makanan pokok. Strategi pengembangan jagung diwilayah ini meliputi ekstensifikasi lahan pertanian, penggunaan inovasi teknologi budi daya, dan mitra usaha tani. Teknologi yang perlu diintroduksikan kepada petani adalah pemupukan organik dan anorganik sesuai takaran anjuran dan pengendalian OPT secara terpadu. Pengairan dengan memompa air permukaan atau air tanah dapat dikaji sebagai upaya mengatasi kekurangan air pada musim kemarau. Kekeringan dapat pula diatasi dengan menanam varietas toleran kekeringan seperti Lamuru atau varietas genjah unggul (berumur 8290 hari) tahan kekeringan seperti Gumarang, Lagalilo, dan Wisanggeni dengan potensi hasil6,807,50 t/ha. Pada lahan kering masam dapat dikembangkan varietas Antasena namun varietas ini tidak tahan terhadap penyakit bulai (Balai Penelitian Tanaman Serealia 2002). Mitra usaha diperlukan untuk menampung produksi jagung dengan harga yang layak serta menyediakan saprodi dengan harga terjangkau.

Lambat laun, pangan pokok masyarakatnya bukan jagung, tetapi sagu dan umbi-umbian. Jagung diusahakan sebagai tanaman sampingan pada wilayah dengan iklim relative basah. Status kepemilikan lahan tidak jelas (tanah adat). Wilayah ini meliputi Kabupaten Maluku Tengah, Maluku Tenggara, dan P.P. Aru. Termasuk kelompok ini adalah petani urban (Bugis dan Buton). Strategi pengembangan jagung di wilayah ini meliputi mitra usaha petani, perubahan tradisi lokal, ekstensifikasi, dan inovasi teknologi. Namun, ekstensifikasi terhambat minimnya jumlah tenaga kerja. Jaminan harga pasar yang memadai dapat merangsang petani untuk membuka lahan agar produksi jagungnya meningkat. Penggunaan alsintan perlu diperkenalkan, karena ratarata keluarga tani hanya mampu membuka lahan 0,500,75 ha. Inovasi teknologi yang penting adalah penggunaan varietas unggul, pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian OPT, pengairan dengan pompanisasi, serta penanganan panen dan pascapanen. Varietas unggul berdaya hasil tinggi seperti Bisma dan Lamuru, disarankan untuk dikembangkan pada wilayah ini. Varietas Lamuru lebih toleran kekeringan dan tahan serangan hama bubuk dibanding Bisma. Varietas ini telah berkembang di Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur (Balai Penelitian Tanaman Serealia 2002).

Akhirnya, masyarakat memiliki makanan pokok beras, status kepemilikan lahan jelas, dan menanam jagung untuk kebutuhan komersial. Termasuk dalam wilayah ini adalah daerah-daerah tujuan transmigrasi seperti Kairatu, Buru, dan Seram Utara. Daerah ini umumnya beririgasi teknis sehingga dapat diterapkan sistem usaha tani dengan komponen teknologi maksimal. Ekstensifikasi sulit dilakukan karena status lahan telah jelas. Petani pada wilayah ini relatif maju, dengan menerapkan prinsip agribisnis dan cukup responsif terhadap pengenalan teknologi baru. Strategi pengembangan jagung diwilayah ini adalah mitra usaha dan inovasi teknologi. Mitra usaha dibutuhkan untuk menampung hasil dengan harga yang kompetitif, dan menyediakan sarana produksi dengan harga terjangkau dan tersedia saat dibutuhkan. Inovasi teknologi ditekankan pada penerapan teknologi secara maksimal seperti penggunaan bibit hibrida. Harga benih jagung hibrida yang lebih mahal disbanding benih jagung komposit, menurut Bahtiar et al. (2002) dapat disiasati dengan menanam benih dari pertanaman sendiri (F2), karena hasilnya tidak jauh berbeda dibanding menggunakan varietas hibrida (F1). Inovasi teknologi lain yang disarankan pada wilayah ini adalah peningkatan IP dan penerapan konsep pengelolaan tanaman dan sumber daya secara terpadu (PTT). Peningkatan IP dimungkinkan karena telah tersedia sarana irigasi. Di beberapa daerah di Jawa, pengembangan jagung di lahan sawah irigasi memberikan keunggulan komparatif yang lebih baik dibandingkan di lahan sawah tadah hujan maupun lahan kering.

B. Saran

Ekstensifikasi lahan pertanian masih sangat dimungkinkan karena potensi lahan yang tersedia cukup luas. Kendala utama ekstensifikasi adalah minimnya jumlah tenaga kerja keluarga. Oleh karena itu, selain mengoptimalkan sumber daya manusia, diperlukan alat dan mesin pertanian. Hal demikian di peruntukkan bagi pemerintah khususnya pada bagian pertanian dan pekebunan.

Serta Masalah dalam pengembangan jagung di lahan sawah adalah genangan air setelah panen padi sehingga jagung tidak dapat segera ditanam. Akibat terlambat tanam, tanaman berpeluang mengalami kekeringan pada fase

generatif. Masalah ini dapat diatasi dengan membuat saluran-saluran drainase mikro. Hal inipun merupakan tanggung jawab pemerintah dalam mengatasinya

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta. 2002.

Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 13, bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2000.

Simamora, Bilson. Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan profitable.Pt Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2001

Mulyadi. Ekonomi Kelautan.PT RajaGrafindo Persada. 2005

Adat dan Upacara Daerah Maluku: Zusatz: Hrsg./Bearb.: Kebudayaan, Departemen Pendidikan d. Verlagsort: Jakarta: Verlag: Departemen Pendidikan House source:http://bib.soa.uni-bonn.de/gsdl/cgi-bin/library