CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

MY PICTURE'S

MY PICTURE'S
KEISTIMEWAAN SEORANG WANITA TERPANCAR DARI HIJABNYA

Senin, 13 Desember 2010

ARTI PERUBAHAN


Perubahan sosial adalah normal dan berkelanjutan, tetapi menurut arah yang berbeda di berbagai tingkat kehidupan sosial dengan berbagai tingkat kecepatan.
Teori evolusi kuno adalam sosiologi mengandung berbagai cacat, namun salah satu prinsip sentralnya yang sahih adalah bahwa perubahan terjadi dimana-mana dan normal. Karena itu, masalah perubahan sosial lebih merupakan masalah tingkat perubahan ketimbang masalah ada atau tidak ada.
Tingkat perubahan rendah menimbulkan ketegangan. Secara tersirat ini mnyetakatan tingkat perubahan optimal bagi manusia, dalam konteks organisasi maupun dalam lingkungan yang berubah-ubah. Lebih dari itu, antisipasi terhadap ketiadaan dalam persaingan, semakin lama semakin berbahaya bagi manusia. Jika perubahan cepat menjadi sumber ketegangan mental, berangkali begitu pula ketegangan berlangsung terlalu lambat.
Ada tiga alasan manusia mengapa masyarakat yang sedang berkembang dapat menempuh jalan uniknya sendiri  karena bagi masyarakat yang modern dan tradisional sama-sama homogeny. Mitos perkembangan satu arah dan pandangan utopia, semata-mata adalah mitos. Masa depan manusia pada dasarnya di perkirakan takkan menyatau menurut sistem sosial.
TEORI-TEORI SOSIOHISTORIS SIKLUS
Khaldun, sarjana Arab, mengajukan teori perubahan sosial yang tajam. Di antara pemikirannya yang mendalam dari karyanya adalah :
1.      Metode historis menawarkan pendekatan terbaik untuk memahami perubahan sosial
2.      Faktor yang menyebabkan perubahan sosial banyak dan beranekaragam : faktor tunggal (seperti kepribadian atau teknologi) tidak mampu menerangkan perubahan sosial secara memadai.
3.      Bentuk-bentuk organisasi social yang berbeda, menciptakan tipe kepribadian yang berbeda pula.
4.      Konflik adalah mekanisme mendasar dari perubahan.
5.      Berbagai faktor psikologi-sosial( kepemimpinan, kepribadian, kekompakan kelompok) membantu kita dalam memahami penyebab dan akibat dari konflik antar kelompok.
6.      Perubahan cenderung merembes, terjadi di semua institusi sosial, agama, keluarga, pemerintah, dan ekonomi dan sebagainya terlibat dalam proses perubahan itu.


Ada nilai yang berperan untuk mengenali factor penting yagn terlibat di dalam perubahan social tanpa menyebabkan faktro itu menjadi menentukan. Toynbee menekankan kepada kita untuk memusatkan perhatian pada faktor konflik dalam perubahan, pentingnya peranan elit dan hubungan antara elit dan massa rakyat, serta arti penting factor sosio-psikologis dalam memahami perubahan sosial.
Sorokin menawarkan sebuah teori lingkaran perubahan sosial yang imajinatif dan mengesankan, yang di dukung sejumlah besar data. Kerya besarnya itu di akui mengandung sejumlah pernyataan yang masih dapat di perdebatkan. Sorokin menunjukkan kepada kita kemanfaatan pendekatan historis dalam studi perubahan social. Kematian kultur indrawi kita misalnya, berarti bahwa kita akan menuju kea rah “puncak kecemerlangan kultur dan masyarakat Barat yang kreatif itu akan berlanjut.

TEORI-TEORI SOSIOHISTORI PERKEMBANGAN

Auguste Comte
Comte memberikan beberapa petunjuk keliru. Ia terlalu mebatasi diri dalam mengenali factor-faktor dalam mempengaruhi tingkat perubahan. Ia menyetujui motos perkembangan satu arah, menganggap semua manusia akan menjadi masyarakat eropa barat, masyarakat industry seperti yang mereka ketahui. Meremehkan kekuatan ,manusia untuk membentuk masa depannya sendiri. Satu-satunya strategi untuk mempengaruhi perubahan menurutnya hanyalah strategi pendidikan dan pendidikan pulalah satu-satunya yang akan menyingkirkan rintangan kemajuan untuk mencapai era positif.


Herbert Spencer
Spencer mengakui bahwa masyarakat dapat mengalami kemunduran maupun kemajuan. Menurutnya, struktur social yang di citakan manusia sebagai konsekwensi dari cara berfikirnya. Hubungan struktur ini dapat berubah dan struktur masyarakatlah yang menurut cara berfikir dan tipe kepribadian tertentu sehingga terjadilah perubahan.

Emile Durkheim
Durkheim menekankan pentingnya solidaritas, menurutnya penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Selain itu, ia sangat menekankan arti penting factor demografi dalam perubahan social. Lalu melukiskan masa depan umat manusia dalam pengertian agak suram. Durkheim juga orang yang sejak awal meragukan mengnai pencapaian peradaban. Ia merasa bahwa ada kemungkinna terjadinya hubungan sebaliknya antara pertumbuhna kultur  dan kebahagianan manusia. Dengan demikian dukheim mengingatkan kita bahwa kita berhati-hati dalam melihat keselamatan pandangan utopia; ada kekurangan masa sekarang dan keselamatan umat manusia menjadi serupa dengan kita (Barat) secepat mungkin.


TEORI FUNGSIONAL-STRUKTURAL

Talcott Parson
Dalam karyanya mengenai evolusi, Parson kurang menjelaskan sumber atau factor yang menyebabkan perubahan. Dalam mengatakan pentingnya Informasi masih belum menerangkan kapada kita tentang bagaimana control informationalitu membimbing ke tinkat evolusi baru dan belum dapat menerangkan bagaimana system informasi itu sendiri berkembang.







Neil Smelser
Deferensiasi secara tersirat berarti bahwa terdapat rentetan tertentu dalam perubahan sosial, sebagai berikut :
1.      Ketidakpuasan yang berasal dari kegagalan mencapai tujuan yang memuaskan dan dari kesadaran tentang kemungkinan perubahan.
2.      Kekacauan psikis dalam bentuk berbagai reaksi emosional dan aspirasi yang tidak tepat di liha tdari sudut penyelesaian masalah.
3.      Penggunaan energi yang di keluarkan di langkah ke 2 di atas semakin rasional dalam upaya menyadari maksud dari system nilai yang ada.
4.      Tingkat perumusan gagasan, di man aide-ide di bangkitkan secara berlimpah tanpa seorangpun mau bertanggung jawab atau memikul akibat.
5.      Pelaksanaan perubahan oleh individu atau kelompok dan pelaksanaannya di beri sanksi sesuai dengna nilai yang ada.
6.      Rutinitas perubahan yang dapat di terima.

  

Kamis, 14 Oktober 2010

KEHIDUPAN DI FLAT Pengentasan Kemiskinan Melalui Perubahan Sosial dan Kebijaksanaan Sosial

Oleh : Parsudi suparlan

Kemiskinan
Secara sederhana kemiskinan dapat dilihat sebagai suatu keadaan kekurangan harta dan benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Kekurangan harta dan benda berharga tersebut menyebabkan tingkat kesejahteraan hidup seseorang atau sekelompok orang itu lebih rendah daripada yang seharusnya berlaku secara umum. Harta dan benda berharga digunakan oleh pemiliknya sebagai alat tukar untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi kesejahteraan hidupnya. Sehingga seseorang atau sekelompok orang yang tergolong miskin itu, sebenarnya, adalah mereka yang kurang harta dan benda berharga yang dimilikinya sehingga kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan karena itu juga maka kesejahteraan hidupnya berada di bawah rata-rata yang berlaku secara umum.
Secara umum, seseorang yang mempunyai harta dan benda berharga yang sedikit akan mempunyai kemampuan berbelanja yang sedikit bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan dengan demikian maka kesejahteraan hidupnya menjadi lebih rendah daripada mereka yang harta dan benda berharganya berlebih. Tetapi seseorang yang harta dan benda berharga berlebih dapat juga hidup dengan hemat bagi pemenuhan kebutuhannya, sama dengan yang tergolong miskin. Dan, sebaliknya, seseorang yang tidak mempunyai harta dan benda berharga yang cukup dapat hidup dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara berlebih dengan cara berhutang, dengan resiko penderitaan secara fisik dan mental yang harus dibayarnya. Tetapi pada umumnya kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup secara selayaknya merupakan perwujudan dari kemampuan kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga, kemampuan membeli berbagai barang dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat digunakan sebagai indikator untuk menggolongkan mereka sebagai miskin atau tidak.
Permasalahannya kemudian, terletak pada acuan-acuan yang digunakan bagi pembuatan tolak ukurnya. Sebagai indikator maka tingkat kemampuan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup tidaklah sama dengan kemiskinan itu sendiri. Karena kemiskinan itu sendiri adalah kekurangan harta dan benda berharga yang dimiliki.
Bila miskin atau tidak miskin itu dilihat dari pemilikan harta dan benda berharga, maka permasalahannya terletak pada cara-cara dan kemampuan memperoleh, memiliki, mengembangkan dan menggunakan harta dan benda berharga dalam kehidupan para pelaku tersebut.
Para pelaku atau para warga masyarakat, di manapun dan kapan pun, memiliki seperangkat pedoman yang digunakan dalam kehidupan mereka berkenaan dengan cara-cara memperoleh, memiliki, mengembangkan, dan menggunakan harta dan benda berharga dalam kehidupan mereka. Pedoman berkenaan dengan harta dan benda berharga tersebut hanyalah salah satu unsur di antara berbagai unsur yang secara keseluruhan saling berkaitan satu sama lainnya dalam hubungan fungsional dan secara umum digunakan untuk menghadapi lingkungannya, untuk dapat dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, dalam upaya melangsungkan kehidupannya sebagai manusia. Pedoman yang isinya adalah pengetahuan yang rasional maupun yang penuh dengan keyakinan akan kebenarannya, yang digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi beserta isinya, dan menghasilkan tindakan-tindakan untuk memanfaatkannya bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Pedoman bagi kehidupan inilah yang dinamakan kebudayaan. Yaitu pengetahuan yang diyakini kebenarannya dan dimiliki oleh sebuah masyarakat, fungsional kegunaannya dalam struktur kehidupan anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan dalam memanfaatkan lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Sebuah kebudayaan tidak diciptakan oleh para pelaku atau para warga masyarakat yang bersangkutan, tetapi diperoleh melalui sosialisasi dan pendidikan yang diberikan oleh generasi sebelumnya. Penciptaan sejumlah pedoman yang baru dalam kehidupan mereka yang berbeda dari kebudayaan yang secara tradisional mereka gunakan, dapat saja terjadi karena adanya kontak-kontak hubungan dengan kebudayaan lain, karena menurut pengalaman pedoman-pedoman yang baru tersebut lebih menguntungkan, atau karena lingkungan mereka itu telah berubah. Perubahan kebudayaan tersebut dapat juga terjadi karena kemampuan ekonomi yang disebabkan oleh berkurangnya harta dan benda berharga yang mereka miliki itu melanda mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan yang dimiliki oleh sebuah masyarakat itu beroperasi atau berlaku dalam dan melalui berbagai pranata sosial yang ada dalam masyarakat tersebut: pranata-pranata keluarga, ekonomi, pendidikan, agama, dan sebagainya.
Sebuah kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori dan metode-metode untuk mengoperasionalkan konsep-konsep dan teori-teori mengenai lingkungan beserta segala isinya, yang di miliki oleh masyarakat tersebut. Isi kebudayaan tersebut digunakan untuk mengidentifikasi, menghasilkan, memiliki dan menggunakan apa yang diperoleh dari lingkungannya, termasuk harta dan benda berharga. Sebuah kebudayaan tidak mungkin berkembang dan maju tanpa adanya teknologi dan ekonomi beserta pengembangannya, yang merupakan pedoman bagi menghasilkan, memiliki, menggunakan atau memanfaatkan harta dan benda berharga. Pengembangan unsur-unsur teknologi dan ekonomi dalam sebuah kebudayaan tersebut dan begitu juga sebaliknya.
Pengembangan teknologi dan ekonomi tidak mungkin dapat dilakukan dalam lingkungan yang serba kekurangan atau serba miskin, dan begitu juga pengembangan pemilikan harta dan benda-benda berharga tidak mungkin dapat dilakukan bila unsur-unsur teknologi dan ekonomi dalam kebudayaan tersebut juga terbatas atau miskin. Keterbatasan atau kemiskinan dalam unsur-unsur teknologi dan ekonomi ini terwujud dalam berbagai pranata ekonomi, fasilitas-fasilitas sosial untuk pelayanan kesejahteraan hidup dan pada berbagai pranata sosial yang dimiliki oleh sebuah masyarakat, secara keseluruhan. Keterbatasan dan kemiskinan seperti tersebut di atas itulah yang menghasilkan adanya kebudayaan kemiskinan.
Kebudayaan Kemiskinan
Oscar Lewis (1984) melihat bahwa orang miskin yang hidup mengelompok sebagai sebuah masyarakat atau komuniti itu mempunyai kebudayaan kemiskinan, yaitu suatu cara hidup yang dijalani oleh mereka yang miskin yang berbeda dari cara hidup mereka yang tidak miskin. Kebudayaan kemiskinan dilihat sebagai nilai-nilai, sikap-sikap, pola-pola kelakuan yang adaptif terhadap lingkungan mereka yang serba miskin. Muncul dan berkembang serta lestarinya kebudayaan kemiskinan, menurut Oscar Lewis, adalah karena mereka yang tergolong miskin itu cenderung untuk hidup mengelompok dengan sesamanya dalam sebuah komuniti. Dan dalam komuniti tersebut pranata-pranata sosial yang mengacu atau bersumber pada kebudayaan kemiskinan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Pranata-pranata sosial mereka itu terpisah dari pranata-pranata sosial yang berlaku umum dalam masyarakat luas, karena itu mereka tidak atau kurang dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang disajikan oleh pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat luas. Partisipasi dan interaksi sosial mereka dalam masyarakat itu kurang atau tidak efektif. (2) Kehidupan keluarga yang tidak stabil, anak-anak yang cepat dewasa karena terbatasnya masa belajar dan bermain. (3) Hutang menghutang dan gadai-menggadai untuk pemenuhan hidup sehari-hari. (4) Sikap pasrah, apatis atau masa bodoh dan senang meminta-minta atau menerima bantuan derma dan sedekah tetapi di lain pihak juga menunjukkan sikap-sikap memberontak dan mementingkan diri sendiri. (5) Tidak punya tabungan, tidak punya rencana hari esok yang jauh jangkauannya, yang penting hari ini, praktikal langsung dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Kesukaran yang dihadapi dalam menggunakan konsep kebudayaan kemiskinan, sebagaimana didefinisikan oleh Oscar Lewis tersebut diatas, dalam upaya untuk menentukan sasaran dan strategi dalam pengentasan kemiskinan adalah menentukan sasaran utama yang merupakan konsep inti atau konsep kunci dari kebudayaan kemiskinan. Karena, dalam konsep tersebut di atas, konsep kebudayaan mencakup nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola dari kelakuan, sedang tiga konsep utama ini secara konseptual tidak berada dalam satu kategori. Nilai-nilai adalah konsep yang berada dalam pengetahuan manusia, yang penuh dengan muatan emosi dan perasaan, yang terbebas dari dan tidak mudah berubah karena adanya stimulus yang berasal dari kehidupan sehari-hari, yang karena itu merupakan acuan untuk menilai dan menghasilkan tindakan dalam menghadapi berbagai stimulus yang berasal dari lingkungan yang dihadapi. Sedangkan sikap adalah respons atau tanggapan terhadap stimulus yang berasal dari lingkungan yang dihadapi, yang dapat terwujud sebagai tindakan-tindakan secara verbal maupun secara kelakuan. Dan pola-pola kelakuan adalah abstraksi dari kelakuan, abstraksi yang dibuat oleh peneliti mengenai beranekaragam kelakuan dari yang diteliti untuk mengetahui pola-pola atau prinsip-prinsip umumnya.
Jadi, dalam konsep kebudayaan kemiskinan dari Oscar Lewis terdapat konsep-konsep yang saling berbeda tingkat fungsinya dalam struktur kehidupan manusia dan yang masing-masing berdiri sendiri sebagai satuan-satuan konsep atau tidak terkait secara fungsional yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem. Karena itu juga dalam metodologi yang telah digunakan oleh Oscar Lewis untuk meneliti kehidupan mereka yang tergolong sebagai miskin, pendekatan etic dan emic telah digunakannya secara serampangan. Dan karena kelemahannya terletak pada tingkat konseptual, yaitu konsep kebudayaan kemiskinan, dan pada metodologinya maka yang dihasilkan oleh Oscar Lewis adalah deskripsi-deskripsi atau karya-karya etnografi mengenai gejala-gejala, yang informatif (lihat misalnya, karyanya yang telah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia di tahun 1989).
Sebagai sebuah konsep, kebudayaan kemiskinan dapat operasional kegunaannya dalam upaya mengidentifikasi inti permasalahan kemiskinan dan mengentaskannya. Asalkan konsep kebudayaan kemiskinan tersebut dipertajam dalam pendefinisian dan operasional kegunaannya dalam menjelaskan gejala-gejala kemiskinan yang ada. Cara yang dapat dilakukan adalah melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan, dan sebagai pedoman bagi kehidupan maka kebudayaan berada dalam pengetahuan yang dimiliki dan diacu oleh para warga masyarakat untuk menginterpretasi lingkungannya untuk dapat dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Sebagai pedoman bagi kehidupan kebudayaan berisikan konsep-konsep dan teori-teori mengenai gejala-gejala yang merupakan isi dari lingkungannya, dan metode-metode untuk memilah-milah dan menyeleksi serta merangkai-rangkai gejala-gejala tersebut sehingga dapat didayagunakan atau dimanfaatkan. Kebudayaan kemiskinan adalah kebudayaan yang atau pedoman bagi kehidupan dari mereka yang tergolong miskin yang digunakan untuk menghadapi lingkungannya yang serba miskin. Karena lingkungan yang serba miskin maka juga konsep-konsep dan teori-teori yang ada dalam kebudayaan kemiskinan adalah konsep-konsep dan teori-teori yang berkaitan dengan kemiskinan tersebut, dan begitu juga metode-metode yang digunakan untuk memilah-milah, menyeleksi dan merangkai gejala-gejala yang ada dalam lingkungan yang serba miskin tersebut menghasilkan konsep-konsep dan teori-teori yang mencirikan kemiskinan. Ciri-ciri kebudayaan kemiskinan terwujud berada dalam berbagai pranata-pranata sosial, yang membedakannya dari pranata- pranata sosial yang berlaku dalam masyarakat luas, sebagaimana telah diidentifikasi oleh Oscar Lewis.
Dengan melihat dan memperlakukan kebudayaan sebagai pengetahuan yang menjadi pedoman bagi kehidupan dan terwujud sebagai operasional melalui pranata-pranata sosialnya, maka kebudayaan kemiskinan dapat dilihat sebagai sebagai pedoman bagi kehidupan lingkungan hidup yang serba miskin yang operasional melalui pranata- pranata sosial yang ada dalam masyarakat miskin tersebut. Kebudayaan kemiskinan tidak dapat digunakan sebagai acuan dalam menghadapi lingkungan yang tidak miskin, karena konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode yang ada dalam kebudayaan kemiskinan tidak relevan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat dalam lingkungannya yang tidak miskin. Dengan konsep kebudayaan kemiskinan yang saya ajukan tersebut, maka nampak jelas sasaran yang harus diperhatikan upaya pengentasan kemiskinan; yaitu ada dalam lingkungan hidup yang serba miskin. Tiga unsur ini saling terkait satu sama lainnya dalam hubungan-hubungan fungsional dan secara keseluruhan merupakan sebuah suatu sistem. Dan, karena itu tidak dapat ditangani secara setengah-setengah atau hanya menekankan penanganannya pada pengetahuan saja atau salah satu unsur lainnya, tetapi harus secara keseluruhan. Kalau ditangani secara keseluruhan maka perubahan-perubahan yang akan nampak adalah dimulai dari perubahan dalam tindakan-tindakan sosial dalam masyarakat, dan perubahan-perubahan selanjutnya nampak dalam pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Semua perubahan tersebut sebenarnya mengacu pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam kebudayaan dari masyarakat miskin tersebut.
Perubahan dan Kebijaksanaan Sosial
Kehidupan manusia bermasyarakat terwujud dalam berbagai tindakan sosial, yaitu antar tindakan para pelaku dalam kegiatan-kegiatan sosial dengan mereka atau dalam keberhasilan, untuk kepentingan pemenuhan berbagai kebutuhan untuk hidup mereka. Tindakan-tindakan sosial para pelaku selalu dilakukan secara spontan dan selalu diselimuti oleh unsur-unsur emosi dan perasaan; sehingga dibedakan dari tindakan-tindakan formal atau rasional yang berlaku dalam kegiatan-kegiatan korporasi atau birokrasi. Tindakan-tindakan sosial, yang menghasilkan adanya hubungan-hubungan sosial di antara warga masyarakat, terwujud dalam berbagai kegiatan pranata sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pelaku tersebut selalu berpedoman pada norma-norma dan peranan-peranan serta nilai-nilai yang ada dalam pranata sosial yang bersangkutan. Selanjutnya, nilai-nilai, norma-norma dan peranan-peranan yang ada dalam pranata sosial tersebut berpedoman pada kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.
Perubahan sosial atau perubahan dari norma-norma, peranan-peranan sosial dan pranata-pranata sosial yang berlaku dalam kehidupan sosial sebuah masyarakat dapat terjadi karena adanya perubahan dalam lingkungan hidup masyarakat tersebut, karena perubahan dalam jumlah dan komposisi penduduk yang menjadi warga masyarakat tersebut, karena adanya peminjaman sesuatu unsur kebudayaan lain dan karena adanya penemuan (discovery) dan penciptaan (invention) dalam kehidupan ekonomi, teknologi, keyakinan dan berbagai aspek kehidupan lainnya dari masyarakat tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidup dari masyarakat tersebut tidak lagi dapat digunakan atau kurang efektif penggunaannya dalam mengatur kehidupan dan dalam menghadapi lingkungan hidup dari masyarakat tersebut. Karena itu nilai-nilai, norma-norma dan peranan-peranan, yang secara keseluruhan merupakan sistem, yang digunakan untuk upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidup bagi mereka harus diubah; yang perubahan-perubahannya disesuaikan dengan lingkungan yang telah berubah tersebut. Perubahan tersebut telah menghasilkan adanya perubahan kebudayaan dan kebudayaan yang berubah tersebut, sebagai pedoman acuan kehidupan sosial, telah menghasilkan adanya perubahan sosial.
Dalam kasus pengambil alihan unsur-unsur kebudayaan dari luar, terjadinya penemuan dan penciptaan, prosesnya selalu dimulai secara individual oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Unsur-unsur kebudayaan yang diambil dari luar, yang ditemukan, atau yang diciptakan biasanya dimulai dengan penggunaannya secara individual oleh yang bersangkutan karena dirasakan sebagai menguntungkan. Dengan demikian maka perubahan yang terjadi terwujud pada tingkat individual dan tidak pada tingkat kehidupan sosial dari masyarakat tersebut. Perubahan yang terjadi pada tingkat kehidupan sosial atau perubahan sosial, baru akan terjadi pada waktu keuntungan yang dirasakan secara individual tersebut dikomunikasikannya dengan para warga lainnya melalui kehidupan sosial mereka dan para warga lainnya tersebut juga merasakan keuntungan yang diperoleh karena menggunakan unsur-unsur kebudayaan baru di dalam kehidupan mereka. Unsur-unsur kebudayaan baru tersebut diakomodasikan di dalam norma-norma, peranan-peranan para pelaku, dan diberi muatan nilai-nilai sesuai kebudayaan yang ada. Dengan demikian terjadilah perubahan dalam kehidupan sosial dari masyarakat tersebut, yang acuannya adalah perubahan kebudayaan, yang terwujud sebagai corak atau pola-pola kehidupan sosial yang berbeda daripada yang telah ada sebelumnya.
Kalau kita perhatikan bersama mengenai proses-proses terjadinya perubahan sosial, maka terlihat adanya dua cara; yaitu (1) Terpaksa berubah karena terjadinya perubahan dalam lingkungan (termasuk perubahan demografi), yang dalam keadaan perubahan tersebut para warga masyarakat tidak mempunyai alternatif lainnya selain menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya, karena lingkungan itulah tempat mereka hidup dan yang menghidupi mereka. (2) Terjadi secara sukarela, bertahap dari yang sederhana menjadi kompleks, dilakukan oleh individu-individu warga masyarakat yang bersangkutan karena perubahan sosial dan budaya tersebut dirasakan sebagai menguntungkan bagi mereka.
Sesuatu kebijaksanaan sosial, yaitu kebijaksanaan yang digunakan sebagai pedoman atau acuan bagi pembuatan strategi-strategi dan perencanaan untuk peningkatkan kesejahteraan sosial atau kehidupan para warga masyarakat, mau tidak mau harus memperhatikan proses-proses perubahan seperti yang telah dibahas di atas. Karena, pada dasarnya, kegiatan peningkatan kesejahteraan hidup atau pengentasan kemiskinan adalah upaya-upaya terencana untuk merubah kebudayaan dari masyarakat yang menjadi sasaran.
Hakekat perubahan pada butir yang pertama, yaitu perubahan dalam lingkungan dapat dilakukan untuk memaksa terjadinya perubahan kebudayaan dan perubahan sosial dari masyarakat yang bersangkutan, tetapi kalau para warga masyarakat tidak mampu untuk merubah kebudayaan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan lingkungan hidup yang baru, maka yang terjadi adalah, mereka tidak memperdulikan lingkungan hidup yang baru, tidak hidup dari lingkungan yang baru tersebut, atau melarikan diri dari lingkungan hidup yang baru tersebut dan membentuk lingkungan hidup yang sesuai dengan corak atau pola-pola kebudayaan mereka. Dalam kasus pertama, lingkungan yang baru tersebut tidak dipelihara dan bahkan dirusak, karena dirasakan sebagai gangguan dalam kehidupan mereka.
Hakekat perubahan pada butir kedua memperlihatkan bahwa perubahan kebudayaan itu berlangsung secara individual, spontan dan menguntungkan bagi para pelaku perubahan sosial dan kebudayaan tersebut. Bila perubahan tersebut dirasakan sebagai merugikan maka mereka itu akan menolaknya. Dan, bila perubahan tersebut dipaksakan, maka yang terjadi adalah adanya perubahan pada tingkat formal atau sebagai basa-basi dalam upacara sosial, tetapi tidak terjadi perubahan pada tingkat kehidupan sehari-hari atau yang nyata. Proses-proses penolakan secara halus itu terwujud dalam kehidupan sosial karena setiap kebudayaan mempunyai mekanisme untuk menolak unsur-unsur yang merugikan kebudayaan atau pelaku pendukung kebudayaan tersebut. Penolakan, karena dianggap merugikan, selalu mengacu pada kecocokan unsur-unsur baru tersebut dengan konsep-konsep, teori-teori dan metode-metode yang ada dalam kebudayaan yang bersangkutan. Kalau cocok atau menguntungkan para pelaku dan pengembangan kebudayaan tersebut maka unsur-unsur kebudayaan yang baru tersebut diterima dan dijadikan sebagai bagian dari pedoman yang secara umum digunakan dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Dengan melihat kemiskinan sebagai kebudayaan kemiskinan, dan melihat kebudayaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pranata-pranata sosialnya, dan dari lingkungannya, maka sasaran yang harus ditangani dalam upaya pengentasan kemiskinan, melalui kebijaksanaan sosial yang dilakukan oleh pemerintah, menjadi jelas. Yaitu: kebudayaan, pranata-pranata, dan lingkungan hidup dari masyarakat miskin. Begitu juga berbagai strategi dan perencanaan, sesuai kebijaksanaan sosial tersebut, dapat menjadi jelas. Kejelasan yang pertama adalah, bahwa perubahan kebudayaan dan kehidupan sosial itu tidak dapat berubah secara seketika. Kejelasan kedua adalah, kebudayaan dan kehidupan sosial itu dapat dirubah secara terencana dengan cara merubah lingkungan hidup masyarakat yang bersangkutan, melalui perbaikan berbagai fasilitas yang ada dalam lingkungan, merubah pranata-pranata sosialnya dengan menambah atau mengurangi berbagai bentuk pelayanan yang menguntungkan bagi warga masyarakat, dan merubah konsep-konsep, teori-teori, nilai-nilai yang mendasarinya, serta metode-metode yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat tersebut dengan konsep-konsep, teori-teori, dan nilai-nilai, serta metode-metode yang dapat dirasakan oleh para warga masyarakat sebagai menguntungkan secara ekonomi, sosial, dan secara budaya atau kemanusiaan.
Dalam upaya merubah kebudayaan kemiskinan menjadi kebudayaan yang biasa maka perubahan yang dilakukan secara terencana tersebut harus mencakup sekaligus tiga buah sasaran yang telah disebutkan di atas. Kalau tidak maka upaya tersebut akan sia-sia dan bahkan merugikan pemerintah maupun masyarakat miskin yang bersangkutan. Di antara tiga satuan sasaran yang sering terabaikan, dan karena itu patut diperhatikan adalah permasalahan-permasalahan yang ada dalam kebudayaan kemiskinan. Yang pertama adalah tidak adanya atau kurang berkembangnya konsep modal, dan yang kedua adalah kebudayaan kemiskinan tidak menyajikan banyal alternatif pilihan dalam hal konsep-konsep, toeri-teori, dan nilai-nilai, karena itu maka konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode yang ada dalam kebudayaan tersebut dipegang teguh sebagai satu-satunya kebenaran yang menguntungkan di dalam menghadapi lingkungan.
Kebudayaan kemiskinan tidak mempunyai konsep modal, atau konsep mengenai modal yang dapat mendorong terwujudnya kegitan-kegiatan ekonomi yang menghasilkan keuntungan, dan yang keuntungan tersebut dapat menambah volume modal yang telah ada sebelumnya. Tidak adanya konsep modal ini didukung oleh tidak adanya konsep-konsep lain yang ada dalam kebudayaan kemiskinan, seperti, tidak adanya konsep mengenai perencanaan kegiatan yang bertahap-tahap yang harus diselesaikan dalam jangka waktu yang panjang, tidak adanya uang, energi, dan keahlian yang merupakan potensi yang dapat diaktifkan untuk mampu mengatasi kemiskinan, dan tidak adanya konsep mengenai pasar dan peluang-peluang dalam pasar, dan berbagai hambatan lainnya yang terdapat dalam nilai-nilai budaya yang ada dalam kebudayaan kemiskinan, sebagaimana dikemukakan oleh Oscar Lewis. Di samping itu dalam struktur kehidupan orang miskin juga dikenal adanya patron-patron, yang hidup di antara dan di dalam masyarakat miskin. Patron-patron yang tidak berpedoman pada kebudayaan kemiskinan, yang hidup dari mengantarai kehidupan orang miskin dengan kehidupan masyarakat luas. Jika permasalahan ini tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka program pengentasan kemiskinan hanya akan mengenai para patron, atau para patron itulah yang menjadi sasaran pengentasan kemiskinan.
Lebih lanjut lagi, upaya pendidikan, penataran atau sosialisasi yang dilakukan terhadap orang miskin haruslah praktikal, menguntungkan, tidak bertentangan secara keras dengan nilai-nilai budaya yang ada, dan sesuai dengan perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah terhadap lingkungan dan pranata-pranata sosial dari masyarakat miskin yang bersangkutan. Pendidkan yang dilakukan bukan hanya pendidikan ketrampilan saja, tetapi pendidikan ketrampilan yang menguntungkan. Pendidikan ketrampilan tersebut mencakup pemberian pengetahuan dan pengalaman mengenai uang dan modal, dan mengenai berbagai kewajiban dan tanggungjawab secara ekonomi dan sosial terhadap masyarakat dan pranata-pranatanya. Dalam keadaan siap pakai, seperti tersebut di atas, maka modal yang dipinjamkan kepada orang miskin akan dapat dimanfaatkan secara ekonomi, yang menguntungkan mereka dan yang meminjamkan modal.
Dalam upaya pengentasan kemiskinan, pemerintah daerah yang bersangkutanlah yang lebih tahu mengenai masyarakat-masyarakat yang ada dalam wilayah administrasinya. Tingkat ketahuan tersebut juga bertingkat-tingkat, dari yang sangat khusus dan terperinci sampai dengan yang umum, atau dari tingkat desa sampai dengan tingkat propinsi. Kewenangan untuk menciptakan kebijaksanaan sosial untuk menciptakan perubahan sosial dalam rangka pengentasan kemiskinan tentunya akan lebih tepat ditangani oleh pemerintah daerah yang bersangkutan secara bertingkat-tingkat.

ANTROPOLOGI PERKOTAAN

Oleh : Parsudi Suparlan

Antropologi Perkotaan berasal dari dua istilah atau dua konsep, yaitu antropologi dan perkotaan. Makna dari istilah atau konsep antropologi perkotaan adalah pendekatan-pendekatan antropologi mengenai masalah-masalah perkotaan. Yang dimaksud dengan pendekatan-pendekatan antropologi adalah pendekatan-pendekatan yang baku yang menjadi ciri-ciri dari metodologi yang ada dalam antropologi, dan yang dimaksudkan dengan pengertian masalah-masalah perkotaan adalah masalah-masalah yang muncul dan berkembang dalam kehidupan kota dan yang menjadi ciri-ciri dari hakekat kota itu sendiri yang berbeda dari ciri-ciri kehidupan desa. Kota dengan demikian diperlakukan sebagai konteks atau variabel yang menjelaskan keberadaan permasalahan yang ada di dalam kehidupan perkotaan, dan kota adalah juga sebagai permasalahan perkotaan itu sendiri. Permasalahan perkotaan yang menjadi sasaran kajian antropologi perkotaan berpangkal pada kebudayaan perkotaan dan pranata-pranata sosial yang hidup dan berkembang di kota. Dari kajian utama mengenai kebudayaan dan pranata-pranata sosial tersebut, kehidupan sehari-hari, pola-pola kelakuan, kehidupan komuniti, ekonomi, hubungan antar sukubangsa atau antar etnik, kemunculan dan mantapnya golongan-golongan sosial, hierarki dan stratifikasi sosial, kemiskinan, kekumuhan, permasalahan permukiman, rumah, hunian serta berbagai masalah lain itu dilihat keberadaannya, hakekatnya, dan kecenderungan-kecenderungannya sebagai mengacu pada kondisi-kondisi kota yang merupakan lingkungan hidup perkotaan.
Kajian antropologi perkotaan bukanlah kajian yang hanya memperlakukan kota sebagai latar, atau lokasi dilakukannya penelitian, atau sebuah situs tempat kajian masalah yang diteliti yang terwujud sebagai kajian sosial-mikro itu dilakukan, atau kajian tempat hidupnya komuniti miskin. Kajian-kajian yang tercakup dalam antropologi perkotaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
 Kajian atau penelitian yang dilakukan harus dapat mendefinisikan kota atau kota-kota yang tercakup dalam kajiannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sasaran konseptual dari penelitiannya.
 Kajian atau penelitian yang memfokuskan pada melihat penelitian silang budaya harus tidak terpaku pada model urbanisme yang telah terjadi di kota-kota di dunia Barat, tetapi betul-betul harus dapat menggali dan menemukan pola-pola yang berlaku secara empirik dalam kehidupan kota-kota yang ditelitinya.
 Harus menggunakan pendekatan yang holistik mengenai kota dan berbagai kaitan hubungan kota tersebut dengan pola-pola kelakuan dan pola-pola budaya dengan masyarakat yang lebih luas.
Sebuah bentuk kajian adapatasi, dalam antropologi perkotaan yang telah menjadi karya klasik adalah yang dilakukan oleh Bruner (1973) mengenai adaptasi Orang Batak yang bermigrasi ke Bandung, Jakarta dan Medan. Dari hasil penelitiannya tersebut ditemukan bahwa pola-pola penyesuaian atau adaptasi dari para pendatang di tiga kota tersebut tidak sama. Perbedaan pola-pola adaptasi tersebut ditentukan oleh ada atau tidaknya kebudayaan dominan dalam struktur kehidupan kota yang bersangkutan. Teori Bruner tersebut dinamakannya dominant culture hypothesis atau hipotesa kebudayaan dominan. Bila dalam struktur kehidupan sebuah kota terdapat sebuah kebudayaan dominan maka para pendatang Orang Batak akan menyesuaikan dirinya dengan kebudayaan dominan tersebut, contohnya adalah kota Bandung. Dan sebaliknya bila kota tersebut tidak mempunyai kebudayaan yang dominan maka para pendatang Batak dan dari berbagai golongan etnik lainnya akan hidup di antara sesama kelompok etniknya dan mengembangkan kebudayaan etnik yang dipunyai masing-masing sebagai pedoman bagi kehidupan mereka. Contohnya adalah kota Medan.

CaLon Pembaharu

Mahasiswa senantiasa memainkan peran yang sangat penting dalam setiap peradaban, terlepas dari seberapa besar atau kecilnya kontribusi yang diberikan, faktor semangat dalam berfikir dan melahirkan ide-ide cemerlang yang tak kenal padam merupakan kebutuhan yang amat penting untuk mendorong majunya sebuah bangsa.
Mahasiswa Antropologi sebagai calon pembaharu dan calon cendekiawan muda membutuhkan kualitas keterbukaan pikiran agar dapat membuka diri dalam berbagai hal baru. Untuk dapat melakukan pembaruan, seorang Antropolog pemula harus mampu melihat berbagai hal yang berbeda dengan kondisi yang ada saat ini. Ia harus dapat membuka dirinya terhadap berbagai kemungkinan yakni dengan melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat lalu mengaitkannya dengan fenomena atau gejala yang lain. Ia juga harus berpikir kritis dengan menanggapi secara hati-hati mengenai berbagai informasi yang di perolehnya. Sebelum ia mengambil keputusan tentang sebuah informasi yang di perolehnya dari berbagai media elektronik maupun cetak, terlebih dahulu ia harus mengaitkannya dengan teori-teori yang di cetuskan oleh para Antropog, atau kah nantinya ia mampu membuat teori sendiri. Di lain sisi ia juga harus menimbang-nimbang informasi itu dengan cermat, sistematis dan memanfaatkan informasi tambahan yang mungkin ia peroleh dari situs dunia maya atau yang lainnya.
Sebagai calon pembaharu, mahasiswa antropologi harus memiliki kemampuan kreatifisatan dalam berbagai hal. Secara umum kreativitas di butuhkan untuk menciptakan hal-hal baru yang menjawab permasalahan dan pemenuhan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Pada awalnya adalah adanya kesenjangan antara yang di inginkan dengan kenyataan yang ada. Dengan kata lain, ada kebutuhan yang tidak dapat di penuhi oleh apa yang ada (Bagus Takwin). Kesenjangan antara kebutuhan dengan alat pemenuh kebutuhan inilah menuntut Antropolog pemula untuk mengurangi bahkan menghapus kesenjangan itu dengan menciptakan produk-produk baru. Produk-produk baru itulah yang di harapkan kemudian dapat memenuhi kebutuhan mayarakat.
Mahasiswa yang di harapkan akan menjadi pelopor bagi kemajuan dan penopang keberlangsung hidup masyarakatnya, memerlukan jauh lebih dari sekedar kuliah di kelas dan menghafal apa yang dikatakan oleh pengajar (dosen). Sejak awal seorang mahasiswa Antropologi harus membiasakan diri berkutat dengan berbagai persoalan dalam masyarakat, sebab persoalan-persoalan itu nantinya akan jadi persoalannya sendiri. Menjadi mahasiswa berarti menjadi orang yang terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakatnya. Tak terkecuali oleh para Antropog pemula. Ia harus mampu menjadi mahasiswa terdepan dengan melihat, menganalisa sehingga mampu dan menyelesaikan permasalahan yang ada sesuai dengan gejala social yang melekat di tengah-tengah masyarakat.

BE AGENT OF CHANGE

Tidak semua tingkah laku orang bisa kita analisa hanya dari satu sudut pandang saja karena pada kenyataanya semua orang mempunyai pola pikir dan sudut pandang yang berbeda, bukan begitu?
“Mahasiswa sekarang berbicara seolah-olah memperjuangkan nasib rakyat, tetapi sebenarnya mereka tidak pernah hidup dekat dengan rakyat yang mereka bela,” kira-kira begitu ucapan salah satu pembicara dalam forum diskusi publik yang diselenggarakan oleh BO Economica FE UI (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (2/08/2010). Selain itu, penuturan mantan wakil Presiden Muh. Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa mahasiswa Makassar itu adalah manusia primitif (31/7/2010), mewakili segelintir orang dalam melihat dan menilai dari satu sudut pandang tentang mahasiswa.
Di sisi lain, sebagian orang mengganggap mahasiswa adalah kaum intelektual yang berperan sebagai penyangga keberlangsungan hidup bangsa. Hal ini di lihat dari banyaknya prestasi yang di raih oleh kaum intelek muda ini. Salah satunya mengharumkan nama baik Indonesia di kanca dunia internasional, seperti 7 mahasiswa menyabet First Prize pada 17th International Mathematics Competition (IMC) yang di gelar American University in Bulgaria in Blagoevgrad city, 24-30 Juli 2010 yang diikuti oleh 392 mahasiswa dari 40 negara.
Terlepas dari sudut pandang mana orang menilai hakekat mahasiswa. Sebagai agen perubah penulis berharap kepada kawan-kawan mahasiswa di samping berteriak atas nama rakyat dengan turun ke jalan, alangkah lebih baiknya lagi kalau di tambah dengan kemampuan kawan-kawan menjadi mahasiswa yang berprestasi di dunia kampus yang nantinya dapat menjadi harapan masyarakat. Sehingga mampu menciptakan kepedulian, sikap kritis terhadap peristiwa sosial yang melahirkan niat dan kemauan untuk turut berperan dalam memperbaiki Negri kita.
Kalau bukan dimulai dari generasi kita, lantas siapa lagi yang akan memulainya. Terlepas dari sudut pandang mana orang menilai mahasiswa. Inilah saatnya bagi kita untuk memberikan sebuah bukti sebagai seorang mahasiswa bagi rakyat Indonesia.

Minggu, 10 Oktober 2010

Terorisme: Pesanan Amerika

Pasang surut politik nternasional, terutama pada periode perang dunia II sampai pasca perang dingin, lebih banyak dipengaruhi oleh isu-isu konvensional dan lebih pada tarik-menarik kepentingan deologis antara AS sebagai kiblat ideologi kapitalis dengan Uni Soviet yang berhaluan komunis.
Selama masa perang dunia II, ketika Jerman dan Jepang menjadi musuh bersama, hubungan Uni Soviet dan AS dapat dikatakan akrab. Hal itu ditunjukkan dengan keterlibatan mereka dibantu Inggris memerangi Jerman, serta adanya kesepatakan antara Stalin, Roosevelt, Churchill, mengenai konfigurasi Eropa pasca perang yang dibuat pada bulan Februari 1945 di Yalta.

Namun, keharmonisan itu hanyalah sementara, ketika keserakahan Stalin yang berniat mencaplok Eropa Barat akhirnya membuat AS terpaksa mengeluarkan ancaman berupa penggunaan senjata nuklir. Demikianlah, perang dingin antara AS dan Soviet dimulai.

Dunia mulai melihat masa depan yang lebih baik saat perang dingin usai, ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin tahun 1989 dan bubarnya Soviet awal tahun 1992, yang kemudian diikuti terbentuknya Uni Moneter dan Ekonomi di Eropa tahun 1991 melalui perjanjian Moostricht. Rentetan sejarah itu tidak lepas dari peran AS yang turut menorehkan catatan penting dalam sebuah pengaturan sistem dunia.

Oleh karena itu, AS segera setelah perang dingin berakhir, terus melancarkan program-programnya, seperti liberalisasi ekonomi dunia, demokratisasi, hak-hak asasi manusia, dan isu non-konvensional lainnya, termasuk terorisme.

Isu Terorisme Global
Istilah "terorisme" mulai digunakan pada akhir abad ke-18, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat (Charles Thomas, International Terorism and Political Crimes, 1975).

Konsep ini, pendeknya, cukup menguntungkan bagi para pelaku terorisme negara yang karena memegang kekuasaan, berada dalam posisi mengontrol sistem pikiran dan perasaan. Dengan demikian, arti aslinya terlupakan, dan istilah "terorisme" lalu diterapkan terutama untuk "terorisme pembalasan" oleh individu atau kelompok-kelompok.

Meski, perang terhadap terorisme sempat memunculkan pro dan kontra di organisasi internasional, seperti PBB dan juga di masing-masing negara yang mau tidak mau meratifikasi ke dalam undang-undang internalnya, namun, sebagian besar negara-negara menyambut hangat dalam bentuk dukungan.

Perang melawan terorisme global, telah mendapat sambutan luar biasa. Di tingkat diplomasi, contohnya, telah ditandatangani resolusi dewan keamanan PBB 1368 dan 1373, yang mewajibkan ke-189 anggotanya untuk mengakhiri semua aksi teroris dan bantuan terhadap teroris, serta membawa pelaku teror untuk diadili.

Collin Powell, Menlu AS, mengatakan tidak ada yang lebih penting daripada resolusi perintis tersebut, teroris tanpa sumber dana dan perlindungan, akhirnya sama dengan menghadapi jalan buntu. Sebaliknya, Brian Becker, aktivis International Answer (Act Now to End War and Racism) menyerukan, "perang bukanlah jawaban, karena serangan 11 September bukan serangan perang, melainkan telah terjadi eskalasi dalam lingkaran kekerasan".

Kehancuran WTC adalah sebuah kritik keras atas wacana hegemonik yang dikembangkan dalam periode yang panjang, sekaligus penegasan ulang bahwa penindasan, apa pun bentuknya, harus dihentikan. Dengan ini, banyak negara, khususnya negara dunia ketiga mendeklarasikan kekecewaan bernada gugatan terhadap timpangnya tatanan yang gagal menjawab berbagai soal kemanusiaan. Kapitalisme --saudara kembar liberalisme-- pun ikut menghadapi tantangan yang sama atas persoalan yang tengah dihadapi umat manusia.

Tesis Francis Fukuyama mendapatkan peninjauan ulang dalam dialektika gagasan. Simbiosis kapitalisme dengan demokrasi tidak semata-mata mengindikasikan kegagalannya sebagai the end of history, tetapi sekaligus merekonstruksi paham yang selama ini berkembang dalam tatanan dunia global.

Dalam banyak segi, tragedi kemanusiaan --baik yang jatuh akibat penyerangan WTC maupun akibat ketidakadilan global-- akan mengubah banyak hal. Bukan sekadar mempertanyakan ulang pemahaman yang telah telanjur baku sebelumnya, tetapi lalu menuntun umat manusia mencari bentuk baru yang lebih mampu memenuhi rasa keadilan umat manusia.

Karena itu, tantangan terbesar bagi Pemerintah AS kini bukanlah melampiaskan kemarahannya secara emosional. Selain tidak sesuai dengan watak yang selama ini diklaimnya, rasional, hal itu juga tidak mencerminkan watak reflektif atas musibah yang baru terjadi. Selain itu, AS kini dihadapkan pada musuh yang tidak memiliki wilayah (teritory) tetapi bersifat internasional.

Indonesia - Amerika
Indonesia saat ini berada dalam zona bahaya atau zona merah dari sebuah negara bangsa (nation state) lemah yang bergerak menuju negara bangsa yang gagal, seperti yang diungkap oleh Robert I. Rotberg (Kompas, 28 Maret 2002). Pernyataan ini bukan tanpa dasar dan analisa pada kenyataan yang dihadapi Indonesia saat ini. Sebagaimana diketahui bahwa krisis berkepanjangan telah memaksa itu terjadi.

Pergantian kepemimpinan nasional ternyata bukan jaminan ke arah perubahan yang lebih baik, sebab, menjadi catatan bahwa faktor lain juga ikut andil dalam berhasil atau tidak Indonesia mengatasi masalah. Di antara persoalan itu, seperti isu dis-integrasi bangsa, hal ini ditunjukkan dengan konflik di daerah-daerah yang belum tuntas; penegakan hukum yang ambivalen; pemberantasan KKN yang setengah hati; dan upaya perbaikan ekonomi yang belum menandakan keberhasilan.

Di samping itu, pengaruh tekanan pihak luar negeri terhadap kebijakan Indonesia terasa semakin memberatkan di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, perdagangan, bahkan militer.

AS sebagai motor penggerak memposisikan diri untuk mengawal kawasan Trans-Atlantik (Amerika Utara dan Eropa Barat), khususnya dimensi politik dan militer. Kemudian RRC dan Jepang sebagai lokomotif di kawasan Asia Pasifik pada bidang ekonomi perdagangan. Dan Inggris sebagai simbol pemersatu Uni Eropa, meski tidak menggunakan Euro sebagai mata uangnya.

Bila multipolarisasi di atas yang terbentuk, maka pertanyaannya, di mana posisi dan sebagai apa negara-negara berkembang (Indonesia) yang notabene jumlahnya lebih banyak dari negara berkategori maju?

Untuk menjawabnya dibutuhkan instrumen sebagai indikator mengukurnya. Pertama, berdasar tingkat income per kapita. Indonesia jelas masih jauh dari standar pendapatan rata-rata dunia, di samping hutang yang begitu besar. Kedua, iklim demokratisasi yang masih jauh dari baik. Hal ini ditunjukkan masih kuatnya dominasi negara di semua sisi; politik, ekonomi, HAM, militer dan hukum. Ketiga, yang lebih spesifik, yaitu tidak jelasnya konsep politik luar negeri Indonesia. Bebas-aktif sebagai model pilihan, menghambat Indonesia untuk melakukan aliansi strategis dengan negara-negara tertentu.

Yang disebut terakhir, menjadi menarik, ketika dikaitkan dengan konsep new world order ala Amerika. Meski Mega terbukti telah mendapat dukungan Bush yunior, khususnya bagi proyek perang terhadap terorisme global, serta semakin baiknya hubungan Indonesia-RRC dengan kunjungannya, tidak serta merta membawa Indonesia pada wilayah aman. Namun sebaliknya, hal ini menimbulkan prasangka negatif Amerika "Mega menggunakan gaya politik bapaknya (baca: Soekarno)" walaupun dianggap strategis dalam perspektif Indonesia.

Oleh karena itu, mesti dilakukan re-interpretasi model politik luar negeri Indonesia, untuk menyakinkan dunia perihal posisi dan sikap Indonesia. Dan itu tidak cukup meski dengan dibuatnya UU pemberatasan terorisme saja.

New World Dis-order
Global grand design yang dirancang AS, menempatkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia sebagai negara komponen pendukung bagi kepentingannya. Hal ini paralel dengan konfigurasi multipolarisasi. Namun, sebetulnya sekilas tampak ambigu, sebab, AS lebih menginginkan model uni-polar.

Hasrat menjadi hegemon tunggal, tampak semenjak perang dingin berakhir. Ini juga dapat dilihat dari beberapa peristiwa seperti perang Vietnam, perang Teluk (Iraq-Amerika), dan terakhir perang Afghanistan. Dominasi AS dalam organisasi-organisasi internasional, misalnya PBB begitu kental, dengan memaksa dewan keamanan mengeluarkan resolusinya untuk memerangi terorisme.

Gencarnya kampanye perang melawan terorisme global, mendesak setiap negara untuk menyatakan dukungannya, bahkan RRC sekalipun, demi kepentingan pasar, akhirnya memberi restu, demikian pula Rusia, memastikan di belakang Amerika, karena hubungan yang mulai baik antara keduanya.

Mencermati perkembangan dan perubahan yang terjadi, bisa dikatakan bahwa konsep balance of power yang ingin dibangun pasca perang dingin mengalami dis-orientasi, sebab kenyataannya, AS menjadi satu-satunya kekuatan tak tertandingi sampai kini. Di samping itu, beredar pula asumsi bahwa, kondisi dunia saat ini tidak sesuai dengan obsesi AS, sebab telah keluar dari prinsip utama AS untuk melindungi semua kepentingan nasionalnya dan mempertahankan AS sebagai pemimpin dunia.

Warren Christopher dalam tulisannya "America's Leadership, America's Oppurtunity" (Jurnal Foreign Policy No. 95, Spring 1995) mengungkapkan, ada 4 prinsip utama politik luar negeri AS pasca perang dingin. Pertama, mempertahankan kepemimpinan global AS di bidang politik, keamanan dan ekonomi. Prinsip ini adalah yang terpenting dalam upaya membentuk tata dunia baru yang lebih baik.

Kedua, mempertahankan pola interaksi yang konstruktif dengan negara kuat lainnya, di kawasan Eropa, Asia Pasifik, Timur Tengah dan Amerika Latin, khususnya bagi kepentingan ekonomi AS. Ketiga, memperkuat institusi-institusi internasional sebagai mekanisme penyelesaian konflik internasional secara damai, dan keempat, mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi ke seluruh dunia sebagai prasyarat utama terciptanya perdamaian internasional.

Program besaran itu dapat diterjemahkan sebagai strategi politik luar negeri AS. Dalam arti luas, strategi politik luar negeri menurut Lovell (1975) adalah rencana dari suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional dengan mencegah aktor negara lain dalam meraih kepentingan tersebut.

Hal ini menjadi relevan, ketika muncul negara-negara "pembelot", sebut saja seperti Iraq dan Korea Utara, yang menentang setiap kebijakan AS. Belum lagi, negara-negara yang secara diam-diam dan pragmatis memanfaatkan AS. Semua itu, menjadi pertimbangan serius bagi AS, untuk mengklasifikasi negara-negara tersebut; musuh, setengah musuh setengah kawan, atau kawan.

Bila penilaian AS, bahwa konstelasi dunia saat ini lebih tidak menguntungkan bagi masa depan keberlangsungannya sebagai pemimpin dunia, maka lambat laun tapi pasti, AS akan melancarkan aksi berikutnya untuk merevolusi dunia. Sebab, AS cenderung menganggap tata dunia yang diinginkan telah gagal, dan menjadi sebuah keniscayaan bahwa isu terorisme sebagai angle yang tepat untuk melakukan itu.

Maka, terorisme akan senantiasa muncul jika memang dibutuhkan. Dan ini harus ada solusi serta pennaganan yang benar. Prinsip Amerika yang sombong dan arogan harus diselesaikan. Jika tidak ada satu negarapun yang bisa melakukan itu, maka tata dunia baru akan tetap penuh dengan teror dan ketakutan. Islam sebagi sebuah sistem memiliki solusi itu. Yaitu dengan tegaknya sistem islam, Khilafah yang akan memberikan keadilan kepada semuanya. Dan kedepan perjuangan Khilafah tidak akan pernah surut bahkan senantiasa naik. (Budi Hari Wibowo dan redaksi dakwahkampus.com)

KHUSUS EDISI MABA : Aku Luar Biasa

Aku Luar Biasa
“Selembar kertas ini hadir sekedar menyapa. Berbagi senyum dan cinta. Dengan bening sepasang bola mata anda, mari menyusuri hingga titik terakhir. Jangan bergeming apalagi berpaling. Karena ini adalah sulaman kata yang akan merajut semangat. Hanya teruntuk anda yang luar biasa.”

Sesungging senyum tertoreh indah di sudur bibir. Kala jas almamater indah membalut tubuh. Anda adalah orang yang beruntung. Anda adalah orang yang luar biasa. Begitu sosok anda di mata sebagian orang kini. Kata mereka anda sukses merengkuh pilihan hidup. Mereka tidak sedang memuji, tetapi mengungkapkan kenyataan. Menjadi mahasiswa di sini, di kampus ini, adalah kebanggan tersendiri. Tidaklah mudah mendapatkannya. Banyak yang bermimpi, namun sedikit yang terpilih. Dan alangkah beruntungnya anda. Anda adalah orang yang bermimpi sekaligus terpilih. Satu sanjungan yang layak untuk anda adalah “Anda luar biasa.”

Hidup ini adalah pilihan. Entah berapa kali kalimat itu telah berulang terngiang di telinga. Namun memang benar. Hidup ini laksana perjalanan. Tidak ada jalan yang terus lurus. Sesekali - dan itu pasti - anda akan sampai pada persimpangan. Saat itu anda harus memilih. Persimpangan mana yang hendak dilalui. Kiri atau kanan. Tidak elok dan mustahil bisa memilih keduanya. Cukup satu dan memang harus satu. Jika salah memilih, dipenghujung jalan sana ada kegelapan menanti. Siap menderaikan air mata. Jika simpangan yang anda pilih adalah benar, maka di ujung perjalanan ada keindahan dan ketenangan siap menyapa. Cukup untuk membuat senyum merekah indah.
Kini pilihan ada pada anda. Simpang mana yang hendak anda tapaki. Dihadapan anda kini ada pesimpangan. Bukan hanya dua, tiga, atau lima. Ada puluhan persimpangan. Terbentang puluhan pilihan. Pilihan hari ini akan menentukan apakah gerimis air mata atau senyum indah bahagia yang akan anda tuai beberapa tahun yang akan datang. Yang jelas jangan pernah memilih jalan yang biasa. Tapakilah jalan yang luar biasa. Agar dirimu menjadi manusia yang tidak biasa. Dan dipenghujung perjalanan hidup nanti dengan bangga, anda mampu teriakkan pada dunia bahwa, “Saksikanlah aku luar biasa!”
Tersebutlah kisah seorang anak kecil. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari tingkahnya. Matanya sayu. Bibirnya ranum namun enggan tersenyum. Bila berjalan kepalanya tertunduk, selalu malu. Duduknya pasti di sudut kelas. Karena merasa diri tidak cerdas. Luka hatinya semakin menjadi, kala karib kerabat menyapanya dengan “Musang berhidung hitam.” Sapaan itu hanya teruntuk baginya, karena ia sering muncul dengan wajah hitam kotor. Lantaran selalu membantu sang ayah yang seorang pandai besi dan memiliki bengkel. Kegemarannya melihat mesin bekerja. Ada kuncup kebahagiaan di hatinya, kala melihat mesin itu menyala bekerja. Ehm, kegemaran yang aneh.
Kala liburan tiba. Saat sahabat sebaya bergembira ria, ia justru mengurung diri dalam sebuah bengkel kecil. Demi sebuah mimpi katanya. Maka semakin aneh ia di mata para sahabatnya. Hari berganti, tahun berlalu. Ia tetap dalam kebiasaan-kebiasaan anehnya. Hingga usia menginjak 15 tahun ia memilih persimpangan jalan hidupnya. Pergi ke kota besar bernama Tokyo untuk mengadu peruntungan hidup. Awalnya kehidupan terasa berat. Namun ini adalah resiko dari sebuah pilihan simpang hidup. Apakah ia salah memilih persimpangan jalan hidup? Tidak . Pilihan jalan hidupnya telah tepat. Menjadi orang yang luar biasa.
Singkat cerita, kepayahan hidup satu per satu berubah menjadi kesuksesan yang gilang gemilang. Hingga ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan bisnis yang bernama Honda. Ya lelaki si musang berhidung hitam itu adalah Soichiro Honda. Produknya bertebaran dimana-mana. Ribuan mobil dan motornya sementara membanjiri pasar dunia. Inilah buah kenikmatan dari sebuah pilihan perjalanan hidup yang luar biasa.
Dinda, ketika memilih menjadi orang yang luar biasa, maka bersiaplah. Ada hinaan, terbentang halangan, juga ada sejuta hardikan. Tapi jangan pernah mundur. Semua adalah resiko. Terus tapaki jalan itu, karena di ujung sana kebahagiaan menanti.
Lalu dari berbagai simpangan yang ada, mana simpangan yang bisa mengantarkan anda menjadi sosok yang luar biasa? Tak perlu bingung dinda. Jalan kebenaran itu membentang begitu indah nan jelas. Sang pengenggam alam raya (Allah swt) telah menerangi jalan itu dengan cahaya cinta-Nya. Hanya orang yang berselimut kabut dosa saja yang tak mampu mengindera terangnya. Jalan kebenaran yang luar biasa itu adalah jalan Islam. Tapakilah jalan Islam. Maka menjadi orang yang luar biasa, adalah pasti. Soichiro Honda menjadi orang yang luar biasa, mungkin hanya di dunia. Akhiratnya bagaimana? Tak ada yang bisa menjamin. Namun dijalan perjuangan Islam anda akan menjadi insan yang luar biasa, di dunia terlebih lagi di akhirat kelak. Ini bukan sekedar janji kosong tak berisi. Tapi ini adalah janji yang bergaransi. Allah swt yang menggarasi bahwa janji ini pasti benar adanya.
Syahdan, di negeri Arab sana, negeri tandus nan panas, pernah terjadi kejadian mencegangkan. Di lembah Badar tepatnya, semua itu terjadi. Hari itu 17 Ramadhan, sekitar 300 tentara berkumpul. Mereka adalah orang-orang yang telah memilih simpang jalan yang luar biasa. Simpangan jalan Islam. Di depan sana telah beridiri sosok panglima perang. Wajahnya bersinar menyejukkan bila ditatap para serdadunya. Namun sangar menakutkan bila ditatap tentara musuh. Tatapannya menggetarkan hati. Menciutkan nyali lawan. Sungguh luar biasa lelaki itu. Muhammad namanya. Lelaki Arab yang telah dipilih oleh Tuhan yang tidak mungkin salah pillih, untuk menjadi Rasul bagi umat terbaik (umat Islam).
Saat itu Rasulullah saw dan 300 sahabatnya telah siap. Pedang-pedang yang tersarungkan rasanya sudah tak sabar untuk diacungkan keluar. Kemudian sayup-sayup terdengar langkah pasukan kafir kian mendekat. Debu padang pasir mengangkasa akibat derap langkah kuda-kuda mereka. kini di hadapan Rasulullah saw dan para sahabatnya, bediri sekitar 1000 pasukan kafir bersenjata lengkap.
Ya, Allah jumlah mereka tiga kali lipat dari jumlah kaum muslimin. Seolah mustahi mengalahkan mereka. Mundur… mungkin itu pilihan yang terbesit dalam hati. Saat melihat jumlah pasukan yang tidak berimbang, maka mudur adalah pilihan yang biasa. Dan hanya akan menjadikan anda orang yang biasa. Sebaris tanya datang menyapa, “Lalu pilihan apa yang luar biasa?” jawabnya hanya satu pilihlah untuk maju dan menyerang. Itulah pilihan yang luar biasa dan akan menjadikan anda orang yang luar biasa, yakinlah. Tapi jumlah kita tidak berimbang? Pada tanya itu berilah jawaban, “Ya memang jumlah kita tidak berimbang. Namun cukuplah pertolongan Allah bersama kita. Allah yang akan melipat gandakan kekuatan kita. Karena Allah yang telah menjamin, siapa yang berjuang di jalannya maka Allah akan menolongnya.”
Dan memang benar 300 manusia luar biasa itu memilih untuk maju. Allah pun menunaikan janjinya. Allah mengirimkan bala tentara bantuan berupa seribu malaikat. Malaikat itu pun turut berperang. Menebas leher orang-orang kafir. Sungguh indah rencana Allah. Menurunkan pertolongan dari tempat yang tidak disangka-sangka. Bahkan diluar akal manusia.
Tapi inilah upah untuk mereka yang memilih jalan hidup yang luar biasa. Sesekali jalan itu memang penuh dengan rintangan. Simpangan jalan nan luar biasa itu terkadang menuntut pengorbanan yang lebih. Pengorbanan waktu, tenaga, harta, bahkan mungkin nyawa suatu saat nanti. Begitulah jalan perjuangan Islam. Jalannya begitu panjang lagi curam. Gerbangnya telah jauh terlalui, namun ujung jalan belum juga tampak. Tidak perlu takut, karena anda tidak melalui jalan itu sendirian. Ada orang-orang lain luar biasa yang juga memilih simpangan jalan perjuangan Islam. Jika anda lelah, saat keletihan itu hadir, maka ingatlah mereka ada disamping anda. Mereka adalah sebahat seakidah. Sahabat seperjuangan. Sahabat yang rela berbagi hangatnya selimut Islam bersama anda. Jumlah mereka memang tidak banyak. Hanya sedikit. Karena memang yang memilih jalan luar biasa, jalan perjuagan Islam jumlahnya tidak banyak. Coba lihat diperang badar, jumlah kaum muslimin hanya 300 orang. Sedikit. Hanya orang-orang terpilih yang rela bersusah payah di jalan cinta perjuangan Islam. Namun keletihan dan kepayahan kelak akan terbayar. Bukan di dunia tetapi bersiaplah menerima bayarannya di akhirat kelak. Bayaran itu berupa senyum, kecupan, dan pelukan bidadari. Ah, sungguh indah imbalan itu.
Jangan juga takut memilih simpangan perjuangan Islam. Anda tidak sendiri menapakinya. Ada Allah swt yang menjadi pendamping kita. Allah adalah sebaik-baik pendamping yang tidak mungkin akan menyesatkan para perindu surga-Nya. Allah pula yang akan menolong siapapun yang telah memilih simpang jalan perjuangan Islam. Jika anda telah yakin menitih jalan perjuangan Islam, maka yakinlah pertolongan Allah itu dekat. Ada sahabat, ada Allah dan Rasul-Nya yang membersamai kita mengarungi perisimpangan yang luar biasa ini.
Namun kembali lagi, hidup adalah pilihan. Terserah pada adinda, ingin memilih persimpangan jalan yang mana. Apakah akan memilih persimpangan jalan yang seolah indah namun tidak mampu menjadikan anda sebagai seorang muslim yang luar biasa? Ataukah simpangan jalan yang katanya memiliki banyak rintangan, namun mampu membuat anda menjadi muslim luar biasa calon penghuni surga? Kembali berulang, hidup adalah pilihan.
Jika anda memilih simpangan jalan perjuangan Islam, maka mari datanglah pada kami. Disaat dingin keputusasaan datang menyeruak, mari merapat untuk rasakan hangatnya kobaran api semangat Islam. Insya Allah dengan segenap upaya keras, kami akan menuntun anda menjadi insan muslim spesial. Insan muslim yang luar biasa. Bukan jamannya lagi menjadi orang yang biasa-biasa saja. Karena orang biasa akan tergilas oleh jaman. Dan diakhirat kelak tidak akan mampu mencium aroma surga.
Ingat kembalilah pada Islam. Pilihlah simpangan jalan perjuangan Islam. Karena itu ada jalan terbaik. Sampai jumpa di medan perjuangan Islam. Sampai jumpa di depan gerbang surga, insya Allah.

“Anda tidak dilahirkan sebagai seorang pecundang, tapi sebagai seorang pemenang, maka jadilah muslim yang luar biasa.”
(untuk sahabat dakwah kampus yang membutuhkan artikel untuk pendekatan kepada adinda mahasiswa baru, mungkin tulisan ini bisa menjadi salah satu alternatif. Semoga bermanfaat)

(Oleh Al-Fatih, BKLDK Makassar)

Presiden SBY tidak Paham Jihad ?

Dalam acara Silaturahmi Musabaqah Tilawatil Quran dan Hadis Tingkat ASEAN dan Pasifik di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Senin (4/10/2010). Yang juga dihadiri oleh beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II seperti Mendiknas M Nuh, Menkopolhukam Djoko Suyanto, Mensesneg Sudi Silalahi, Menteri Agama Suryadharma Ali, juga duta besar beberapa negara Islam dari Timur Tengah. Hadir juga Dr. Sholeh bin Abdullah bin Humaid yang juga utusan resmi Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Alu Su`ud, Duta Besar Kerajaan Arab Saudi, dan para duta besar negara-negara sahabat untuk Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan beberapa hal sebagai bentuk respon terhadap beberapa peristiwa kekinian yang diekspos secara luas oleh media.
Presiden Yudhoyono dalam sambutanya; “Siapapun tidak boleh mengatasnamakan agama sebagai instrumen untuk melakukan tindak kekerasan dan teror,”. Presiden Yudhoyono berharap jangan sampai generasi muda menafsirkan makna jihad di dalam Al Quran secara keliru. Penafsiran keliru itu, kata Kepala Negara, adalah mengartikan jihad sebagai jalan kekerasan dan menghalalkan segala cara. “Janganlah menjadikan ajaran Islam sebagai tameng untuk membenarkan tindakan terorisme,” kata Yudhoyono. Generasi muda, menurut Presiden, seharusnya memaknai jihad sebagaimana mestinya, yaitu jihad melawan hawa nafsu, kemiskinan, keterbelakangan, perilaku korupsi, dan jihad untuk kesejahteraan bangsa dan negara.
Presiden menegaskan bahwa Islam itu damai dan teduh. Islam adalah agama yang cinta keadilan dan selalu menganjurkan kasih sayang, serta menjauhi permusuhan. Melalui Al Quran, Islam mencegah perbuatan yang keji dan mungkar, katanya. “Al Quran dan Hadits juga mengajarkan kepada kaum Muslimin untuk memelihara dan mempertahankan nilai-nilai luhur yang mulia, etika kehidupan yang baik, serta tata hubungan sosial yang harmonis dan bermartabat,” kata Presiden. Memperjuangkan Islam, imbuhnya, perlu dilandasi dengan perilaku yang baik. “Bukan sebaliknya, tindakan yang tidak Islami,” tuturnya. (Antaranews.com, 4/10, Detiknews.com,4/10)
Setidaknya ada dua hal paling urgent yang perlu di kritisi dari pernyataan Presiden SBY. Pertama; pernyataan SBY lebih tepat disebut sebagai tuduhan, jika ada sebagian orang atau kelompok yang menjadikan agama sebagai tameng atau instrumen untuk melakukan tindakan kekerasan dan teror. Sebelumnya Presiden juga mengeluarkan pernyataan yang mirip, saat memberikan sambutan pada peresmian Masjid Baiturrahim yang berada di Kompleks Istana Kepresidenan, Presiden mengatakan masjid atau rumah ibadah adalah pusat kebaikan dan pusat kebajikan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
Karena itu, dia meminta agar masjid tidak dijadikan sebagai ajang untuk memprovokasi atau menyerukan tindakan kekerasan. Pernyataan Presiden itu terkait dengan aktivitas sejumlah teroris yang telah ditangkap, yang cenderung menjadikan tempat ibadah untuk mengajarkan permusuhan dan tindak kekerasan kepada orang yang berbeda akidah. (Republika.co.id,2/10)
Pernyataan di atas tentu bukan bercanda, tapi artikulasi verbal dari proses pencerapan terhadap realitas dan informasi yang masuk dalam pikiran Presiden. Maka sentimen dalam bentuk redaksi “tuduhan” perlu dibuktikan, agar program pemerintah dalam menangani kasus “terorisme” tidak melahirkan masalah dan musuh baru dengan sengaja atau tidak telah memojokkan dan menstigmasi Islam terkait terorisme. Umat Islam juga bisa mengeluarkan asumsi berlawanan; “jangan sampai penguasa menjadikan proyek kontra terorisme tameng untuk melakukan “teror” dan “mendiskritkan” Islam dan kaum muslimin“. Karena ungkapan Presiden Yudhoyono lebih sebagai asumsi yang masih perlu bukti, kalau masjid menjadi “kawah condrodimuka” lahirnya kekerasan. Jika ada satu atau dua orang yang sesuai ungkapan presiden, tentu juga tidak bisa digeneralisir dengan ungkapan diatas.
Kedua; dalam pandangan Presiden Yudhoyono, kesalahan tafsir terhadap al Qur’an dan as Sunnah dalam bab jihad-lah yang menjadi faktor tindakan kekerasan dan terorisme. Kemudian presiden menjelaskan “jihad prespektif presiden” ; seharusnya memaknai jihad sebagaimana mestinya, yaitu jihad melawan hawa nafsu, kemiskinan, keterbelakangan, perilaku korupsi, dan jihad untuk kesejahteraan bangsa dan negara. Apakah benar adanya jihad seperti penjelasan presiden? Bagi seorang muslim memang diwajibkan memahami jihad dengan benar dan aplikasinya juga benar. Tidak memahami sebagian dan membuang sebagian, apalagi dengan motif ingin melakukan “tahrif” (penyimpangan) makna jihad, karena dihadapkan kepada jalan buntu mengurai akar masalah “terorisme” sementara terminologi jihad menjadi tertuduh.
Sekilas memahami jihad yang sahih.
Seperti diterangkan dalam al Qur’an dan as Sunnah kemudian dibukukan dalam ratusan kitab fiqh oleh ulama’ salafus sholeh dan ulama’-ulama’ zaman sekarang (dan mu’tabar; jadi rujukan dan pegangan umat Islam), bisa diringkas;
Secara bahasa kata “al-jihaad” berasal dari kata “jaahada“, yang bermakna “al-juhd” (kesulitan) atau “al-jahd” (tenaga atau kemampuan). Imam Ibnu Mandzur dalam Kitab Lisaan al-’Arab nya, secara bahasa, al-jihaad artinya;mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Dalam kitab Syarh al-Qasthalaani ‘alaa Shahiih al-Bukhaariy dinyatakan sebagai berikut Kata jihaad merupakan pecahan dari kata al-jahd, dengan huruf jim difathah yang berarti: at-ta’b (lelah) dan al-masyaqqah (sulit). Sebab, kelelahan dan kesulitan yang ada di dalamnya bersifat terus-menerus. Kata jihaad bisa merupakan bentuk pecahan dari kata al-juhd dengan “jim” didhammah, yang berarti: at-thaaqah (kemampuan atau tenaga). Sebab, masing-masing mengerahkan tenaganya untuk melindungi shahabatnya.
Di dalam al-Quran dan Sunnah, kata jihaad diberi arti baru oleh syariat dari arti asal (bahasanya) atau menuju makna yang lebih khusus, yaitu, “mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung, dengan bantuan keuangan, pendapat (pemikiran), memperbanyak kuantitas (taktsiir al-sawaad) ataupun yang lain (Ibn ‘Abidiin, Haasyiyah, juz III, hal. 336) Dengan demikian, ketika kata “jihad” disebut, secara otomatis orang akan memaknainya dengan makna syariatnya -berperang di jalan Allah”, bukan dengan makna bahasanya. Jihad dengan makna khusus ini, bisa ditemukan pada ayat-ayat Madaniyah. Sedangkan kata jihad di dalam ayat-ayat Makkiyah, maknanya merujuk pada makna bahasanya (bersungguh-sungguh).
Contoh Ayat-ayat yang memberikan pengertian Jihad adalah al Qital (perang);
لا يَستَوِى القٰعِدونَ مِنَ المُؤمِنينَ غَيرُ أُولِى الضَّرَرِ وَالمُجٰهِدونَ فى سَبيلِ اللَّهِ بِأَموٰلِهِم وَأَنفُسِهِم ۚ فَضَّلَ اللَّهُ المُجٰهِدينَ بِأَموٰلِهِم وَأَنفُسِهِم عَلَى القٰعِدينَ دَرَجَةً ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الحُسنىٰ ۚ وَفَضَّلَ اللَّهُ المُجٰهِدينَ عَلَى القٰعِدينَ أَجرًا عَظيمًا
“Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. al-Nisaa’ : 95)
Jihaad dalam ayat ini mempunyai pengertian: keluar untuk berperang, dan aktivitas ini lebih diutamakan daripada berdiam diri dan tidak berangkat menuju peperangan.
Para ulama empat madzhab juga telah sepakat bahwa jihad harus dimaknai sesuai dengan hakekat syariatnya, yakni berperang di jalan Allah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”. Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah perang.
Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah dalam al Mughni-nya berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.
Jihad Ofensif dan Jihad Defensif
Dr. Mohammad Khair Haekal di dalam kitab al-Jihad wa al-Qital menyatakan, bahwa sebab dilaksanakannya jihad fi sabilillah bukan hanya karena adanya musuh (jihad defensif), akan tetapi juga dikarenakan tugas Daulah Islamiyyah dalam mengemban dakwah Islam ke negara lain, atau agar negara-negara lain tunduk di bawah kekuasaan Islam (jihad ofensif).
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas minimal jihad yang dilakukan oleh negara. Imam al-Mawardiy dalam kitab al-Iqnaa’, hal.175 menyatakan, “Hukum jihad adalah fardlu kifayah, dan imamlah yang berwenang melaksanakan jihad…ia wajib melaksanakan jihad minimal setahun sekali, baik ia pimpin sendiri, atau mengirim ekspedisi perang.”
Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-Zain, “Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun, tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara”.
Jadi dari paparan diatas cukup untuk menimbang makna jihad ala Presiden. Hakikatnya jihad itu bukan terorisme, dan jihad bukan mengajarkan umat Islam menjadi teroris. Jihad dalam ajaran Islam tetap berlaku hingga yaumil qiyamah, bagi orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya tidak akan berani dan tega menuduh “ajaran jihad” dalam Islam sebagai sumber dari berbagai tindakan teror dan kekerasan.Jika ada sekelompok kecil orang mengaplikasikan makna jihad secara keliru, itu juga tidak bisa dijadikan alasan bahwa “jihad” itu telah berhenti dan tidak lagi di syariatkan. Atau kemudian perlu pemaknaan baru yang akhirnya menyimpang dan keluar dari makna yang syar’i yang dikehendaki Allah SWT dan Rasul-Nya.
Jadi dari prespektif ini, terlihat alih-alih Presiden menyelesaikan akar munculnya berbagai tindak kekerasan dan teror tapi malah mengeluarkan asumsi-asumsi yang bisa mendiskriditkan Islam dan kaum muslimin.Umat harus waspada manufer orang-orang yang membenci Islam & kaum muslim melalui permainan bahasa berusaha membikin kacau cara berfikir dan perilakunya.Wallahu a’lam
(Upaya Pendistorsian Makna Jihad)
Oleh: Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiyah DPP-HTI)

Menghafal Al-Qur'an Dapat Tingkatkan Prestasi Akademis

Orang yang terbiasa menghafal al-Qur'an, maka ia akan belajar keseriusan dalam hidup, serta belajar mengatur hidupnya

Hidayatullah.com--Para akademisi dan spesialis sependapat bahwa menghafal al-Qur'an memiliki efek yang baik dalam pengembangan keterampilan dasar pada siswa, serta dapat meningkatkan pendidikan dan prestasi akademis.

Dr. Abdullah Subaih, profesor psikologi di Universitas Imam Muhammad bin Su'ud al-Islamiyah di Riyadh, menyerukan kepada para pelajar agar mengikuti halaqoh-halaqoh menghafal al-Qur'an. Ia juga menegaskan bahwa hafalan al-Qur'an tersebut dapat membantu untuk konsentrasi dan merupakan syarat mendapatkan ilmu.

Ia juga menambahkan bahwa semua ilmu pengetahuan, baik itu ilmu kedokteran, matematika, ilmu syari'ah, ilmu alam dan lain sebagainya, membutuhkan konsentrasi yang tinggi dalam meraihnya. Dan bagi orang yang terbiasa menghafalkan al-Qur'an, ia akan terlatih dengan konsentrasi yang tinggi.

Menurutnya, sel-sel otak itu seperti halnya dengan anggota tubuh yang lainnya, yakni harus difungsikan terus. Orang yang terbiasa menghafal, maka sel-sel otak dan badannya aktif, dan menjadi lebih kuat dari orang yang mengabaikannya.

Dr. Subaih juga menjelaskan bahwa orang yang terbiasa menghafal al-Qur'an, maka ia akan belajar keseriusan dalam hidup, serta belajar mengatur hidupnya. Selain itu, mereka juga memiliki kemampuan dalam merencanakan tujuan hidup, serta meraihnya. [sdz/ismm/hidayatullah.com]

Jumat, 23 Juli 2010

Aib Kita Adalah Cermin Diri Kita Juga!

ADA seorang perempuan datang kepada Syaikh Hâtim Al Asham untuk bertanya tentang sebuah persoalan. Saat bertanya, tiba-tiba keluarlah suara kentut dari perempuan itu dan ia merasa sangat malu.

“Keraskan suaramu!,” teriak Hâtim dengan keras untuk mengesankan seolah ia tuli.

Si perempuan merasa senang dan mengira kalau Hâtim tidak mendengar suara kentutnya. Karena kejadian itulah, kemudian Syaikh Hâtim mendapat julukan Al Asham (si tuli).

Kita mendapat pelajaran yang sangat berharga dari Hâtim Al Asham. Kita memperoleh hikmah menutup rapat-rapat keburukan orang lain, tidak mengumbarnya sebagaimana terjadi saat ini, di mana fenomena tayangan ghibahtainmen yang menceritakan kekisruhan rumah tangga orang lain, membeberkan perselingkuhan serta perzinaan, terjadi dengan begitu vulgar dan massif.

Ironisnya, para pemilik modal dan pengelola program tercela ini berkilah jika acara (ghibah) ini dianggap mendidik masyarakat untuk lebih cerdas.

Sebuah alasan yang tidak masuk akal. Alih-alih mencegah, yang terjadi justru masyarakat dijejali oleh berita-berita keburukan orang yang mungkin akan dicontoh oleh mereka. Apalagi pihak bersangkutan yang diwartakan merupakan public figuree.

Tidak berlebihan bila PBNU lewat fatwanya dalam Munas Alim Ulama NU se-Indonesia di asrama Haji Sukolilo, Surabaya (27-30 Juli 2006), menuntut kepada pemerintah, dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informasi, untuk melarang program infotainment yang berisi ghibah alias membeberkan aib orang lain, apakah itu berupa perselingkuhan, perceraian, atau percekcokan rumah tangga, dan sejenisnya.

Fatwa ini perlu direkomendasikan sebagai bentuk pertanggungjawaban para ulama kepada umatnya. Sebab jika keadaan demikian ini dibiarkan begitu saja, lama-lama akan membuat bangsa kita menjadi bangsa penggunjing. Akibatnya, ajang berkumpul sesama teman atau keluarga rasanya kurang afdhal bila tidak dibumbui dengan ngerasani (menggunjing) atau menggosip. Sungguh sebuah dilema yang berbalik seratus delapan puluh derajat dengan apa yang terjadi pada diri Syekh Hatim.

Lantas, bagaimana kita bisa mengetahui aib diri sendiri? Imam Al Ghazali dalam kitabnya yang terkenal, Ihya` `Ulumuddin, mengetengahkan kiat jitu menyingkap kekurangan yang melekat pada diri kita. Beliau menyarankan untuk menempuh empat cara:

Pertama, duduk di hadapan seorang guru yang mampu mengetahui keburukan hati dan berbagai masalah yang tersembunyi di dalamnya. Kemudian ia memasrahkan dirinya kepada sang guru dan mengikuti petunjuknya dalam ber-mujahadah membersihkan aib itu. Ini adalah keadaan seorang murid dengan Syaikhnya dan seorang pelajar dengan gurunya. Sang guru akan menunjukkan aib-aibnya serta cara pengobatannya. Namun, di zaman sekarang guru semacam ini langkah.

Kedua, mencari seorang teman yang jujur, memiliki bashiroh (mata hati yang tajam), dan berpegang pada agama. Ia kemudian menjadikan temannya itu sebagai pengawas yang mengamati keadaan, perbuatan, serta semua aib batin dan lahirnya, sehingga ia dapat memberi peringatan kepadanya. Demikianlah yang dilakukan oleh orang-orang cerdik, orang-orang terkemuka, dan para pemimpin agama.

Ketiga, berusaha mengetahui aib dari ucapan musuh-musuhnya sebab pandangan yang penuh kebencian akan menyingkapkan keburukan seseorang. Bisa jadi manfaat yang diperoleh seseorang dari musuh yang sangat membencinya dan suka mencari kesalahannya lebih banyak dari teman yang suka bermanis muka, memuji dan menyembunyikan aib-aibnya. Akan tetapi, sudah menjadi watak manusia untuk mendustakan ucapan musuh-musuhnya dan menganggapnya sebagai ungkapan kedengkian. Hanya orang yang memiliki mata hati jernih yang mampu memetik pelajaran dari keburukan dirinya yang disebutkan oleh musuhnya.

Keempat, bergaul dengan masyarakat. Setiap kali melihat perilaku tercela seseorang, maka ia segera menuduh dirinya sendiri yang juga memiliki sifat tercela itu. Kemudian ia menuntut dirinya untuk segera meninggalkannya. Sebab, seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Ketika melihat aib orang lain ia akan melihat aib-aibnya sendiri.

Ketika Ku Harus Mengamati



“Mengerjakan sesuatu tidak semudah membalikkan telapak tangan”.
Siapa yang tidak mengenal kalimat ini, bagi kebanyakan orang di dalam proses mengerjakan sesuatu tidaklah semudah yang mereka bayangkan. Diperlukan niat, strategi yang penuh hati-hati dan pengetahuan sesuai lingkup yang ia fokuskan. Seorang wanita yang ingin menjadi koki di salah satu restoran yang menjual aneka ragam roti di Makassar harus mengetahui cara pembuatan roti. Ia juga harus mengetahui bahan dan alat-alat yang di gunakan dalam pembuatannya, waktu yang di perlukan serta kalau perlu ia harus membuat bermacam inovasi baru mengenai bentuk, rasa dan warna dari roti tersebut, yang dapat menjadi salah satu daya tarik para pelanggan. Hal demikianpun berlaku bagi para para peneliti.
Di dalam penelitian, seorang peneliti di tuntut untuk menggunakan metode yang jelas. Dalam hal ini metode penelitian terbagi menjadi dua yakni metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Dalam metode penelitian kualitatif peneliti dapat menerangkan gejala atau fenomena secara lengkap dan menyeluruh, penelitiannya bersifat induktif serta pengumpulan datanya bersifat deskriptif. Teknik pengamatan (observasi) merupakan salah satu bagian dari metode tersebut. Mengamati berbagai gejala social dengan melihat, mendengar dan merasakan hal-hal yang terjadi di sekeliling kita. Di dalam melakukannya seorang peneliti harus memperhatikan ruang atau tempat kejadian, siapa yang menjadi pelaku, kegiatan apa yang mereka kerjakan, benda apa yang di gunakan, kapan hal itu terjadi serta tujuan dan bagaimana perasaan mereka saat fenomena itu terjadi sehingga mereka di sebut sebagai observer.
Seperti kebanyakan para peneliti pemula yang lain, bagiku mengamati fenomena yang berada sekeliling kita tergolong sulit (difficult), sekalipun bagi sebagian para ahli ilmu social menyepelekan tehnik ini karena mengganggapnya kurang perlu untuk dilakukan. Padahal, ketika tehnik ini digunakan secara sempurna sesuai dengan persyaratan yang ada di dalamnya akan sangat berguna untuk memperoleh data yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan. Sebagai peneliti pemula, bagiku keinginan mendalami penelitian yang ingin ku lakukan sangat bergantung dengan apa yang telah di ku amati.
Sebelum ku mengenal penelitian, mengamati suatu fenomena tak pernah terfikirkan olehku. Sekalipun dalam kehidupan sehari-hari tanpa sadar aku sudah melakukan pengamatan. Mendengar namanya atau mengetahui mekanisme di dalamya pun belum pernah ku dapatkan. Keengganan untuk mengamati gejala di sekitar kita berarti keengganan untuk melakukan penelitian lapangan (kualitatif). Betapa perlu dan pentingnya tehnik ini karena kebudayaan merujuk pada pengetahuan yang di peroleh, yang digunakan orang untuk mengintrepretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku social. Hal ini sangat bergantung dengan apa yang telah diamati. Contoh yang di deskripsikan Spradley disaat beliau membaca suatu berita di Manneapolis Tribune dalam Metode Etnografi, 2006 (edisi kedua), mengenai kerumunan orang yang salah memahami upaya penolongan telah menyerang polisi, memiliki dua kelompok anggota masyarakat yang mengamati kejadian sama tetapi mengintrepretasikannya dengan berbeda.
Dalam pengamatan, setiap orang pun mengintrepretasikannya berbeda-beda sekalipun objek pengamatannya sama. Karena peneliti memiliki kebudayaan sendiri yang terkadang berbeda dengan kebudayaan yang menjadi objek penelitiannya. Pengalihan ku dari keinginan untuk mengamati yang sebelumnya tak pernah ku lakukan (tanpa sadar telah ku lakukan) harus ku tingkatkan, begitupun kalian yang mengaku sebagai seorang peneliti pemula.
Anda ingin mengetahui lebih banyak lagi.
Kunjungi : www.dwiloveislam-dwie.blogspot.com atau twitter@dwiafifaah.com untuk berdiskusi tentang masalah apapun (via message).
Semoga bermanfaat, terima kasih.