CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

MY PICTURE'S

MY PICTURE'S
KEISTIMEWAAN SEORANG WANITA TERPANCAR DARI HIJABNYA

Kamis, 14 Oktober 2010

KEHIDUPAN DI FLAT Pengentasan Kemiskinan Melalui Perubahan Sosial dan Kebijaksanaan Sosial

Oleh : Parsudi suparlan

Kemiskinan
Secara sederhana kemiskinan dapat dilihat sebagai suatu keadaan kekurangan harta dan benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Kekurangan harta dan benda berharga tersebut menyebabkan tingkat kesejahteraan hidup seseorang atau sekelompok orang itu lebih rendah daripada yang seharusnya berlaku secara umum. Harta dan benda berharga digunakan oleh pemiliknya sebagai alat tukar untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi kesejahteraan hidupnya. Sehingga seseorang atau sekelompok orang yang tergolong miskin itu, sebenarnya, adalah mereka yang kurang harta dan benda berharga yang dimilikinya sehingga kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan karena itu juga maka kesejahteraan hidupnya berada di bawah rata-rata yang berlaku secara umum.
Secara umum, seseorang yang mempunyai harta dan benda berharga yang sedikit akan mempunyai kemampuan berbelanja yang sedikit bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan dengan demikian maka kesejahteraan hidupnya menjadi lebih rendah daripada mereka yang harta dan benda berharganya berlebih. Tetapi seseorang yang harta dan benda berharga berlebih dapat juga hidup dengan hemat bagi pemenuhan kebutuhannya, sama dengan yang tergolong miskin. Dan, sebaliknya, seseorang yang tidak mempunyai harta dan benda berharga yang cukup dapat hidup dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara berlebih dengan cara berhutang, dengan resiko penderitaan secara fisik dan mental yang harus dibayarnya. Tetapi pada umumnya kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup secara selayaknya merupakan perwujudan dari kemampuan kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga, kemampuan membeli berbagai barang dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat digunakan sebagai indikator untuk menggolongkan mereka sebagai miskin atau tidak.
Permasalahannya kemudian, terletak pada acuan-acuan yang digunakan bagi pembuatan tolak ukurnya. Sebagai indikator maka tingkat kemampuan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup tidaklah sama dengan kemiskinan itu sendiri. Karena kemiskinan itu sendiri adalah kekurangan harta dan benda berharga yang dimiliki.
Bila miskin atau tidak miskin itu dilihat dari pemilikan harta dan benda berharga, maka permasalahannya terletak pada cara-cara dan kemampuan memperoleh, memiliki, mengembangkan dan menggunakan harta dan benda berharga dalam kehidupan para pelaku tersebut.
Para pelaku atau para warga masyarakat, di manapun dan kapan pun, memiliki seperangkat pedoman yang digunakan dalam kehidupan mereka berkenaan dengan cara-cara memperoleh, memiliki, mengembangkan, dan menggunakan harta dan benda berharga dalam kehidupan mereka. Pedoman berkenaan dengan harta dan benda berharga tersebut hanyalah salah satu unsur di antara berbagai unsur yang secara keseluruhan saling berkaitan satu sama lainnya dalam hubungan fungsional dan secara umum digunakan untuk menghadapi lingkungannya, untuk dapat dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, dalam upaya melangsungkan kehidupannya sebagai manusia. Pedoman yang isinya adalah pengetahuan yang rasional maupun yang penuh dengan keyakinan akan kebenarannya, yang digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi beserta isinya, dan menghasilkan tindakan-tindakan untuk memanfaatkannya bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Pedoman bagi kehidupan inilah yang dinamakan kebudayaan. Yaitu pengetahuan yang diyakini kebenarannya dan dimiliki oleh sebuah masyarakat, fungsional kegunaannya dalam struktur kehidupan anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan dalam memanfaatkan lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Sebuah kebudayaan tidak diciptakan oleh para pelaku atau para warga masyarakat yang bersangkutan, tetapi diperoleh melalui sosialisasi dan pendidikan yang diberikan oleh generasi sebelumnya. Penciptaan sejumlah pedoman yang baru dalam kehidupan mereka yang berbeda dari kebudayaan yang secara tradisional mereka gunakan, dapat saja terjadi karena adanya kontak-kontak hubungan dengan kebudayaan lain, karena menurut pengalaman pedoman-pedoman yang baru tersebut lebih menguntungkan, atau karena lingkungan mereka itu telah berubah. Perubahan kebudayaan tersebut dapat juga terjadi karena kemampuan ekonomi yang disebabkan oleh berkurangnya harta dan benda berharga yang mereka miliki itu melanda mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan yang dimiliki oleh sebuah masyarakat itu beroperasi atau berlaku dalam dan melalui berbagai pranata sosial yang ada dalam masyarakat tersebut: pranata-pranata keluarga, ekonomi, pendidikan, agama, dan sebagainya.
Sebuah kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori dan metode-metode untuk mengoperasionalkan konsep-konsep dan teori-teori mengenai lingkungan beserta segala isinya, yang di miliki oleh masyarakat tersebut. Isi kebudayaan tersebut digunakan untuk mengidentifikasi, menghasilkan, memiliki dan menggunakan apa yang diperoleh dari lingkungannya, termasuk harta dan benda berharga. Sebuah kebudayaan tidak mungkin berkembang dan maju tanpa adanya teknologi dan ekonomi beserta pengembangannya, yang merupakan pedoman bagi menghasilkan, memiliki, menggunakan atau memanfaatkan harta dan benda berharga. Pengembangan unsur-unsur teknologi dan ekonomi dalam sebuah kebudayaan tersebut dan begitu juga sebaliknya.
Pengembangan teknologi dan ekonomi tidak mungkin dapat dilakukan dalam lingkungan yang serba kekurangan atau serba miskin, dan begitu juga pengembangan pemilikan harta dan benda-benda berharga tidak mungkin dapat dilakukan bila unsur-unsur teknologi dan ekonomi dalam kebudayaan tersebut juga terbatas atau miskin. Keterbatasan atau kemiskinan dalam unsur-unsur teknologi dan ekonomi ini terwujud dalam berbagai pranata ekonomi, fasilitas-fasilitas sosial untuk pelayanan kesejahteraan hidup dan pada berbagai pranata sosial yang dimiliki oleh sebuah masyarakat, secara keseluruhan. Keterbatasan dan kemiskinan seperti tersebut di atas itulah yang menghasilkan adanya kebudayaan kemiskinan.
Kebudayaan Kemiskinan
Oscar Lewis (1984) melihat bahwa orang miskin yang hidup mengelompok sebagai sebuah masyarakat atau komuniti itu mempunyai kebudayaan kemiskinan, yaitu suatu cara hidup yang dijalani oleh mereka yang miskin yang berbeda dari cara hidup mereka yang tidak miskin. Kebudayaan kemiskinan dilihat sebagai nilai-nilai, sikap-sikap, pola-pola kelakuan yang adaptif terhadap lingkungan mereka yang serba miskin. Muncul dan berkembang serta lestarinya kebudayaan kemiskinan, menurut Oscar Lewis, adalah karena mereka yang tergolong miskin itu cenderung untuk hidup mengelompok dengan sesamanya dalam sebuah komuniti. Dan dalam komuniti tersebut pranata-pranata sosial yang mengacu atau bersumber pada kebudayaan kemiskinan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Pranata-pranata sosial mereka itu terpisah dari pranata-pranata sosial yang berlaku umum dalam masyarakat luas, karena itu mereka tidak atau kurang dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang disajikan oleh pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat luas. Partisipasi dan interaksi sosial mereka dalam masyarakat itu kurang atau tidak efektif. (2) Kehidupan keluarga yang tidak stabil, anak-anak yang cepat dewasa karena terbatasnya masa belajar dan bermain. (3) Hutang menghutang dan gadai-menggadai untuk pemenuhan hidup sehari-hari. (4) Sikap pasrah, apatis atau masa bodoh dan senang meminta-minta atau menerima bantuan derma dan sedekah tetapi di lain pihak juga menunjukkan sikap-sikap memberontak dan mementingkan diri sendiri. (5) Tidak punya tabungan, tidak punya rencana hari esok yang jauh jangkauannya, yang penting hari ini, praktikal langsung dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Kesukaran yang dihadapi dalam menggunakan konsep kebudayaan kemiskinan, sebagaimana didefinisikan oleh Oscar Lewis tersebut diatas, dalam upaya untuk menentukan sasaran dan strategi dalam pengentasan kemiskinan adalah menentukan sasaran utama yang merupakan konsep inti atau konsep kunci dari kebudayaan kemiskinan. Karena, dalam konsep tersebut di atas, konsep kebudayaan mencakup nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola dari kelakuan, sedang tiga konsep utama ini secara konseptual tidak berada dalam satu kategori. Nilai-nilai adalah konsep yang berada dalam pengetahuan manusia, yang penuh dengan muatan emosi dan perasaan, yang terbebas dari dan tidak mudah berubah karena adanya stimulus yang berasal dari kehidupan sehari-hari, yang karena itu merupakan acuan untuk menilai dan menghasilkan tindakan dalam menghadapi berbagai stimulus yang berasal dari lingkungan yang dihadapi. Sedangkan sikap adalah respons atau tanggapan terhadap stimulus yang berasal dari lingkungan yang dihadapi, yang dapat terwujud sebagai tindakan-tindakan secara verbal maupun secara kelakuan. Dan pola-pola kelakuan adalah abstraksi dari kelakuan, abstraksi yang dibuat oleh peneliti mengenai beranekaragam kelakuan dari yang diteliti untuk mengetahui pola-pola atau prinsip-prinsip umumnya.
Jadi, dalam konsep kebudayaan kemiskinan dari Oscar Lewis terdapat konsep-konsep yang saling berbeda tingkat fungsinya dalam struktur kehidupan manusia dan yang masing-masing berdiri sendiri sebagai satuan-satuan konsep atau tidak terkait secara fungsional yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem. Karena itu juga dalam metodologi yang telah digunakan oleh Oscar Lewis untuk meneliti kehidupan mereka yang tergolong sebagai miskin, pendekatan etic dan emic telah digunakannya secara serampangan. Dan karena kelemahannya terletak pada tingkat konseptual, yaitu konsep kebudayaan kemiskinan, dan pada metodologinya maka yang dihasilkan oleh Oscar Lewis adalah deskripsi-deskripsi atau karya-karya etnografi mengenai gejala-gejala, yang informatif (lihat misalnya, karyanya yang telah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia di tahun 1989).
Sebagai sebuah konsep, kebudayaan kemiskinan dapat operasional kegunaannya dalam upaya mengidentifikasi inti permasalahan kemiskinan dan mengentaskannya. Asalkan konsep kebudayaan kemiskinan tersebut dipertajam dalam pendefinisian dan operasional kegunaannya dalam menjelaskan gejala-gejala kemiskinan yang ada. Cara yang dapat dilakukan adalah melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan, dan sebagai pedoman bagi kehidupan maka kebudayaan berada dalam pengetahuan yang dimiliki dan diacu oleh para warga masyarakat untuk menginterpretasi lingkungannya untuk dapat dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Sebagai pedoman bagi kehidupan kebudayaan berisikan konsep-konsep dan teori-teori mengenai gejala-gejala yang merupakan isi dari lingkungannya, dan metode-metode untuk memilah-milah dan menyeleksi serta merangkai-rangkai gejala-gejala tersebut sehingga dapat didayagunakan atau dimanfaatkan. Kebudayaan kemiskinan adalah kebudayaan yang atau pedoman bagi kehidupan dari mereka yang tergolong miskin yang digunakan untuk menghadapi lingkungannya yang serba miskin. Karena lingkungan yang serba miskin maka juga konsep-konsep dan teori-teori yang ada dalam kebudayaan kemiskinan adalah konsep-konsep dan teori-teori yang berkaitan dengan kemiskinan tersebut, dan begitu juga metode-metode yang digunakan untuk memilah-milah, menyeleksi dan merangkai gejala-gejala yang ada dalam lingkungan yang serba miskin tersebut menghasilkan konsep-konsep dan teori-teori yang mencirikan kemiskinan. Ciri-ciri kebudayaan kemiskinan terwujud berada dalam berbagai pranata-pranata sosial, yang membedakannya dari pranata- pranata sosial yang berlaku dalam masyarakat luas, sebagaimana telah diidentifikasi oleh Oscar Lewis.
Dengan melihat dan memperlakukan kebudayaan sebagai pengetahuan yang menjadi pedoman bagi kehidupan dan terwujud sebagai operasional melalui pranata-pranata sosialnya, maka kebudayaan kemiskinan dapat dilihat sebagai sebagai pedoman bagi kehidupan lingkungan hidup yang serba miskin yang operasional melalui pranata- pranata sosial yang ada dalam masyarakat miskin tersebut. Kebudayaan kemiskinan tidak dapat digunakan sebagai acuan dalam menghadapi lingkungan yang tidak miskin, karena konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode yang ada dalam kebudayaan kemiskinan tidak relevan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat dalam lingkungannya yang tidak miskin. Dengan konsep kebudayaan kemiskinan yang saya ajukan tersebut, maka nampak jelas sasaran yang harus diperhatikan upaya pengentasan kemiskinan; yaitu ada dalam lingkungan hidup yang serba miskin. Tiga unsur ini saling terkait satu sama lainnya dalam hubungan-hubungan fungsional dan secara keseluruhan merupakan sebuah suatu sistem. Dan, karena itu tidak dapat ditangani secara setengah-setengah atau hanya menekankan penanganannya pada pengetahuan saja atau salah satu unsur lainnya, tetapi harus secara keseluruhan. Kalau ditangani secara keseluruhan maka perubahan-perubahan yang akan nampak adalah dimulai dari perubahan dalam tindakan-tindakan sosial dalam masyarakat, dan perubahan-perubahan selanjutnya nampak dalam pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Semua perubahan tersebut sebenarnya mengacu pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam kebudayaan dari masyarakat miskin tersebut.
Perubahan dan Kebijaksanaan Sosial
Kehidupan manusia bermasyarakat terwujud dalam berbagai tindakan sosial, yaitu antar tindakan para pelaku dalam kegiatan-kegiatan sosial dengan mereka atau dalam keberhasilan, untuk kepentingan pemenuhan berbagai kebutuhan untuk hidup mereka. Tindakan-tindakan sosial para pelaku selalu dilakukan secara spontan dan selalu diselimuti oleh unsur-unsur emosi dan perasaan; sehingga dibedakan dari tindakan-tindakan formal atau rasional yang berlaku dalam kegiatan-kegiatan korporasi atau birokrasi. Tindakan-tindakan sosial, yang menghasilkan adanya hubungan-hubungan sosial di antara warga masyarakat, terwujud dalam berbagai kegiatan pranata sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pelaku tersebut selalu berpedoman pada norma-norma dan peranan-peranan serta nilai-nilai yang ada dalam pranata sosial yang bersangkutan. Selanjutnya, nilai-nilai, norma-norma dan peranan-peranan yang ada dalam pranata sosial tersebut berpedoman pada kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.
Perubahan sosial atau perubahan dari norma-norma, peranan-peranan sosial dan pranata-pranata sosial yang berlaku dalam kehidupan sosial sebuah masyarakat dapat terjadi karena adanya perubahan dalam lingkungan hidup masyarakat tersebut, karena perubahan dalam jumlah dan komposisi penduduk yang menjadi warga masyarakat tersebut, karena adanya peminjaman sesuatu unsur kebudayaan lain dan karena adanya penemuan (discovery) dan penciptaan (invention) dalam kehidupan ekonomi, teknologi, keyakinan dan berbagai aspek kehidupan lainnya dari masyarakat tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidup dari masyarakat tersebut tidak lagi dapat digunakan atau kurang efektif penggunaannya dalam mengatur kehidupan dan dalam menghadapi lingkungan hidup dari masyarakat tersebut. Karena itu nilai-nilai, norma-norma dan peranan-peranan, yang secara keseluruhan merupakan sistem, yang digunakan untuk upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidup bagi mereka harus diubah; yang perubahan-perubahannya disesuaikan dengan lingkungan yang telah berubah tersebut. Perubahan tersebut telah menghasilkan adanya perubahan kebudayaan dan kebudayaan yang berubah tersebut, sebagai pedoman acuan kehidupan sosial, telah menghasilkan adanya perubahan sosial.
Dalam kasus pengambil alihan unsur-unsur kebudayaan dari luar, terjadinya penemuan dan penciptaan, prosesnya selalu dimulai secara individual oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Unsur-unsur kebudayaan yang diambil dari luar, yang ditemukan, atau yang diciptakan biasanya dimulai dengan penggunaannya secara individual oleh yang bersangkutan karena dirasakan sebagai menguntungkan. Dengan demikian maka perubahan yang terjadi terwujud pada tingkat individual dan tidak pada tingkat kehidupan sosial dari masyarakat tersebut. Perubahan yang terjadi pada tingkat kehidupan sosial atau perubahan sosial, baru akan terjadi pada waktu keuntungan yang dirasakan secara individual tersebut dikomunikasikannya dengan para warga lainnya melalui kehidupan sosial mereka dan para warga lainnya tersebut juga merasakan keuntungan yang diperoleh karena menggunakan unsur-unsur kebudayaan baru di dalam kehidupan mereka. Unsur-unsur kebudayaan baru tersebut diakomodasikan di dalam norma-norma, peranan-peranan para pelaku, dan diberi muatan nilai-nilai sesuai kebudayaan yang ada. Dengan demikian terjadilah perubahan dalam kehidupan sosial dari masyarakat tersebut, yang acuannya adalah perubahan kebudayaan, yang terwujud sebagai corak atau pola-pola kehidupan sosial yang berbeda daripada yang telah ada sebelumnya.
Kalau kita perhatikan bersama mengenai proses-proses terjadinya perubahan sosial, maka terlihat adanya dua cara; yaitu (1) Terpaksa berubah karena terjadinya perubahan dalam lingkungan (termasuk perubahan demografi), yang dalam keadaan perubahan tersebut para warga masyarakat tidak mempunyai alternatif lainnya selain menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya, karena lingkungan itulah tempat mereka hidup dan yang menghidupi mereka. (2) Terjadi secara sukarela, bertahap dari yang sederhana menjadi kompleks, dilakukan oleh individu-individu warga masyarakat yang bersangkutan karena perubahan sosial dan budaya tersebut dirasakan sebagai menguntungkan bagi mereka.
Sesuatu kebijaksanaan sosial, yaitu kebijaksanaan yang digunakan sebagai pedoman atau acuan bagi pembuatan strategi-strategi dan perencanaan untuk peningkatkan kesejahteraan sosial atau kehidupan para warga masyarakat, mau tidak mau harus memperhatikan proses-proses perubahan seperti yang telah dibahas di atas. Karena, pada dasarnya, kegiatan peningkatan kesejahteraan hidup atau pengentasan kemiskinan adalah upaya-upaya terencana untuk merubah kebudayaan dari masyarakat yang menjadi sasaran.
Hakekat perubahan pada butir yang pertama, yaitu perubahan dalam lingkungan dapat dilakukan untuk memaksa terjadinya perubahan kebudayaan dan perubahan sosial dari masyarakat yang bersangkutan, tetapi kalau para warga masyarakat tidak mampu untuk merubah kebudayaan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan lingkungan hidup yang baru, maka yang terjadi adalah, mereka tidak memperdulikan lingkungan hidup yang baru, tidak hidup dari lingkungan yang baru tersebut, atau melarikan diri dari lingkungan hidup yang baru tersebut dan membentuk lingkungan hidup yang sesuai dengan corak atau pola-pola kebudayaan mereka. Dalam kasus pertama, lingkungan yang baru tersebut tidak dipelihara dan bahkan dirusak, karena dirasakan sebagai gangguan dalam kehidupan mereka.
Hakekat perubahan pada butir kedua memperlihatkan bahwa perubahan kebudayaan itu berlangsung secara individual, spontan dan menguntungkan bagi para pelaku perubahan sosial dan kebudayaan tersebut. Bila perubahan tersebut dirasakan sebagai merugikan maka mereka itu akan menolaknya. Dan, bila perubahan tersebut dipaksakan, maka yang terjadi adalah adanya perubahan pada tingkat formal atau sebagai basa-basi dalam upacara sosial, tetapi tidak terjadi perubahan pada tingkat kehidupan sehari-hari atau yang nyata. Proses-proses penolakan secara halus itu terwujud dalam kehidupan sosial karena setiap kebudayaan mempunyai mekanisme untuk menolak unsur-unsur yang merugikan kebudayaan atau pelaku pendukung kebudayaan tersebut. Penolakan, karena dianggap merugikan, selalu mengacu pada kecocokan unsur-unsur baru tersebut dengan konsep-konsep, teori-teori dan metode-metode yang ada dalam kebudayaan yang bersangkutan. Kalau cocok atau menguntungkan para pelaku dan pengembangan kebudayaan tersebut maka unsur-unsur kebudayaan yang baru tersebut diterima dan dijadikan sebagai bagian dari pedoman yang secara umum digunakan dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Dengan melihat kemiskinan sebagai kebudayaan kemiskinan, dan melihat kebudayaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pranata-pranata sosialnya, dan dari lingkungannya, maka sasaran yang harus ditangani dalam upaya pengentasan kemiskinan, melalui kebijaksanaan sosial yang dilakukan oleh pemerintah, menjadi jelas. Yaitu: kebudayaan, pranata-pranata, dan lingkungan hidup dari masyarakat miskin. Begitu juga berbagai strategi dan perencanaan, sesuai kebijaksanaan sosial tersebut, dapat menjadi jelas. Kejelasan yang pertama adalah, bahwa perubahan kebudayaan dan kehidupan sosial itu tidak dapat berubah secara seketika. Kejelasan kedua adalah, kebudayaan dan kehidupan sosial itu dapat dirubah secara terencana dengan cara merubah lingkungan hidup masyarakat yang bersangkutan, melalui perbaikan berbagai fasilitas yang ada dalam lingkungan, merubah pranata-pranata sosialnya dengan menambah atau mengurangi berbagai bentuk pelayanan yang menguntungkan bagi warga masyarakat, dan merubah konsep-konsep, teori-teori, nilai-nilai yang mendasarinya, serta metode-metode yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat tersebut dengan konsep-konsep, teori-teori, dan nilai-nilai, serta metode-metode yang dapat dirasakan oleh para warga masyarakat sebagai menguntungkan secara ekonomi, sosial, dan secara budaya atau kemanusiaan.
Dalam upaya merubah kebudayaan kemiskinan menjadi kebudayaan yang biasa maka perubahan yang dilakukan secara terencana tersebut harus mencakup sekaligus tiga buah sasaran yang telah disebutkan di atas. Kalau tidak maka upaya tersebut akan sia-sia dan bahkan merugikan pemerintah maupun masyarakat miskin yang bersangkutan. Di antara tiga satuan sasaran yang sering terabaikan, dan karena itu patut diperhatikan adalah permasalahan-permasalahan yang ada dalam kebudayaan kemiskinan. Yang pertama adalah tidak adanya atau kurang berkembangnya konsep modal, dan yang kedua adalah kebudayaan kemiskinan tidak menyajikan banyal alternatif pilihan dalam hal konsep-konsep, toeri-teori, dan nilai-nilai, karena itu maka konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode yang ada dalam kebudayaan tersebut dipegang teguh sebagai satu-satunya kebenaran yang menguntungkan di dalam menghadapi lingkungan.
Kebudayaan kemiskinan tidak mempunyai konsep modal, atau konsep mengenai modal yang dapat mendorong terwujudnya kegitan-kegiatan ekonomi yang menghasilkan keuntungan, dan yang keuntungan tersebut dapat menambah volume modal yang telah ada sebelumnya. Tidak adanya konsep modal ini didukung oleh tidak adanya konsep-konsep lain yang ada dalam kebudayaan kemiskinan, seperti, tidak adanya konsep mengenai perencanaan kegiatan yang bertahap-tahap yang harus diselesaikan dalam jangka waktu yang panjang, tidak adanya uang, energi, dan keahlian yang merupakan potensi yang dapat diaktifkan untuk mampu mengatasi kemiskinan, dan tidak adanya konsep mengenai pasar dan peluang-peluang dalam pasar, dan berbagai hambatan lainnya yang terdapat dalam nilai-nilai budaya yang ada dalam kebudayaan kemiskinan, sebagaimana dikemukakan oleh Oscar Lewis. Di samping itu dalam struktur kehidupan orang miskin juga dikenal adanya patron-patron, yang hidup di antara dan di dalam masyarakat miskin. Patron-patron yang tidak berpedoman pada kebudayaan kemiskinan, yang hidup dari mengantarai kehidupan orang miskin dengan kehidupan masyarakat luas. Jika permasalahan ini tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka program pengentasan kemiskinan hanya akan mengenai para patron, atau para patron itulah yang menjadi sasaran pengentasan kemiskinan.
Lebih lanjut lagi, upaya pendidikan, penataran atau sosialisasi yang dilakukan terhadap orang miskin haruslah praktikal, menguntungkan, tidak bertentangan secara keras dengan nilai-nilai budaya yang ada, dan sesuai dengan perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah terhadap lingkungan dan pranata-pranata sosial dari masyarakat miskin yang bersangkutan. Pendidkan yang dilakukan bukan hanya pendidikan ketrampilan saja, tetapi pendidikan ketrampilan yang menguntungkan. Pendidikan ketrampilan tersebut mencakup pemberian pengetahuan dan pengalaman mengenai uang dan modal, dan mengenai berbagai kewajiban dan tanggungjawab secara ekonomi dan sosial terhadap masyarakat dan pranata-pranatanya. Dalam keadaan siap pakai, seperti tersebut di atas, maka modal yang dipinjamkan kepada orang miskin akan dapat dimanfaatkan secara ekonomi, yang menguntungkan mereka dan yang meminjamkan modal.
Dalam upaya pengentasan kemiskinan, pemerintah daerah yang bersangkutanlah yang lebih tahu mengenai masyarakat-masyarakat yang ada dalam wilayah administrasinya. Tingkat ketahuan tersebut juga bertingkat-tingkat, dari yang sangat khusus dan terperinci sampai dengan yang umum, atau dari tingkat desa sampai dengan tingkat propinsi. Kewenangan untuk menciptakan kebijaksanaan sosial untuk menciptakan perubahan sosial dalam rangka pengentasan kemiskinan tentunya akan lebih tepat ditangani oleh pemerintah daerah yang bersangkutan secara bertingkat-tingkat.

ANTROPOLOGI PERKOTAAN

Oleh : Parsudi Suparlan

Antropologi Perkotaan berasal dari dua istilah atau dua konsep, yaitu antropologi dan perkotaan. Makna dari istilah atau konsep antropologi perkotaan adalah pendekatan-pendekatan antropologi mengenai masalah-masalah perkotaan. Yang dimaksud dengan pendekatan-pendekatan antropologi adalah pendekatan-pendekatan yang baku yang menjadi ciri-ciri dari metodologi yang ada dalam antropologi, dan yang dimaksudkan dengan pengertian masalah-masalah perkotaan adalah masalah-masalah yang muncul dan berkembang dalam kehidupan kota dan yang menjadi ciri-ciri dari hakekat kota itu sendiri yang berbeda dari ciri-ciri kehidupan desa. Kota dengan demikian diperlakukan sebagai konteks atau variabel yang menjelaskan keberadaan permasalahan yang ada di dalam kehidupan perkotaan, dan kota adalah juga sebagai permasalahan perkotaan itu sendiri. Permasalahan perkotaan yang menjadi sasaran kajian antropologi perkotaan berpangkal pada kebudayaan perkotaan dan pranata-pranata sosial yang hidup dan berkembang di kota. Dari kajian utama mengenai kebudayaan dan pranata-pranata sosial tersebut, kehidupan sehari-hari, pola-pola kelakuan, kehidupan komuniti, ekonomi, hubungan antar sukubangsa atau antar etnik, kemunculan dan mantapnya golongan-golongan sosial, hierarki dan stratifikasi sosial, kemiskinan, kekumuhan, permasalahan permukiman, rumah, hunian serta berbagai masalah lain itu dilihat keberadaannya, hakekatnya, dan kecenderungan-kecenderungannya sebagai mengacu pada kondisi-kondisi kota yang merupakan lingkungan hidup perkotaan.
Kajian antropologi perkotaan bukanlah kajian yang hanya memperlakukan kota sebagai latar, atau lokasi dilakukannya penelitian, atau sebuah situs tempat kajian masalah yang diteliti yang terwujud sebagai kajian sosial-mikro itu dilakukan, atau kajian tempat hidupnya komuniti miskin. Kajian-kajian yang tercakup dalam antropologi perkotaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
 Kajian atau penelitian yang dilakukan harus dapat mendefinisikan kota atau kota-kota yang tercakup dalam kajiannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sasaran konseptual dari penelitiannya.
 Kajian atau penelitian yang memfokuskan pada melihat penelitian silang budaya harus tidak terpaku pada model urbanisme yang telah terjadi di kota-kota di dunia Barat, tetapi betul-betul harus dapat menggali dan menemukan pola-pola yang berlaku secara empirik dalam kehidupan kota-kota yang ditelitinya.
 Harus menggunakan pendekatan yang holistik mengenai kota dan berbagai kaitan hubungan kota tersebut dengan pola-pola kelakuan dan pola-pola budaya dengan masyarakat yang lebih luas.
Sebuah bentuk kajian adapatasi, dalam antropologi perkotaan yang telah menjadi karya klasik adalah yang dilakukan oleh Bruner (1973) mengenai adaptasi Orang Batak yang bermigrasi ke Bandung, Jakarta dan Medan. Dari hasil penelitiannya tersebut ditemukan bahwa pola-pola penyesuaian atau adaptasi dari para pendatang di tiga kota tersebut tidak sama. Perbedaan pola-pola adaptasi tersebut ditentukan oleh ada atau tidaknya kebudayaan dominan dalam struktur kehidupan kota yang bersangkutan. Teori Bruner tersebut dinamakannya dominant culture hypothesis atau hipotesa kebudayaan dominan. Bila dalam struktur kehidupan sebuah kota terdapat sebuah kebudayaan dominan maka para pendatang Orang Batak akan menyesuaikan dirinya dengan kebudayaan dominan tersebut, contohnya adalah kota Bandung. Dan sebaliknya bila kota tersebut tidak mempunyai kebudayaan yang dominan maka para pendatang Batak dan dari berbagai golongan etnik lainnya akan hidup di antara sesama kelompok etniknya dan mengembangkan kebudayaan etnik yang dipunyai masing-masing sebagai pedoman bagi kehidupan mereka. Contohnya adalah kota Medan.

CaLon Pembaharu

Mahasiswa senantiasa memainkan peran yang sangat penting dalam setiap peradaban, terlepas dari seberapa besar atau kecilnya kontribusi yang diberikan, faktor semangat dalam berfikir dan melahirkan ide-ide cemerlang yang tak kenal padam merupakan kebutuhan yang amat penting untuk mendorong majunya sebuah bangsa.
Mahasiswa Antropologi sebagai calon pembaharu dan calon cendekiawan muda membutuhkan kualitas keterbukaan pikiran agar dapat membuka diri dalam berbagai hal baru. Untuk dapat melakukan pembaruan, seorang Antropolog pemula harus mampu melihat berbagai hal yang berbeda dengan kondisi yang ada saat ini. Ia harus dapat membuka dirinya terhadap berbagai kemungkinan yakni dengan melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat lalu mengaitkannya dengan fenomena atau gejala yang lain. Ia juga harus berpikir kritis dengan menanggapi secara hati-hati mengenai berbagai informasi yang di perolehnya. Sebelum ia mengambil keputusan tentang sebuah informasi yang di perolehnya dari berbagai media elektronik maupun cetak, terlebih dahulu ia harus mengaitkannya dengan teori-teori yang di cetuskan oleh para Antropog, atau kah nantinya ia mampu membuat teori sendiri. Di lain sisi ia juga harus menimbang-nimbang informasi itu dengan cermat, sistematis dan memanfaatkan informasi tambahan yang mungkin ia peroleh dari situs dunia maya atau yang lainnya.
Sebagai calon pembaharu, mahasiswa antropologi harus memiliki kemampuan kreatifisatan dalam berbagai hal. Secara umum kreativitas di butuhkan untuk menciptakan hal-hal baru yang menjawab permasalahan dan pemenuhan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Pada awalnya adalah adanya kesenjangan antara yang di inginkan dengan kenyataan yang ada. Dengan kata lain, ada kebutuhan yang tidak dapat di penuhi oleh apa yang ada (Bagus Takwin). Kesenjangan antara kebutuhan dengan alat pemenuh kebutuhan inilah menuntut Antropolog pemula untuk mengurangi bahkan menghapus kesenjangan itu dengan menciptakan produk-produk baru. Produk-produk baru itulah yang di harapkan kemudian dapat memenuhi kebutuhan mayarakat.
Mahasiswa yang di harapkan akan menjadi pelopor bagi kemajuan dan penopang keberlangsung hidup masyarakatnya, memerlukan jauh lebih dari sekedar kuliah di kelas dan menghafal apa yang dikatakan oleh pengajar (dosen). Sejak awal seorang mahasiswa Antropologi harus membiasakan diri berkutat dengan berbagai persoalan dalam masyarakat, sebab persoalan-persoalan itu nantinya akan jadi persoalannya sendiri. Menjadi mahasiswa berarti menjadi orang yang terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakatnya. Tak terkecuali oleh para Antropog pemula. Ia harus mampu menjadi mahasiswa terdepan dengan melihat, menganalisa sehingga mampu dan menyelesaikan permasalahan yang ada sesuai dengan gejala social yang melekat di tengah-tengah masyarakat.

BE AGENT OF CHANGE

Tidak semua tingkah laku orang bisa kita analisa hanya dari satu sudut pandang saja karena pada kenyataanya semua orang mempunyai pola pikir dan sudut pandang yang berbeda, bukan begitu?
“Mahasiswa sekarang berbicara seolah-olah memperjuangkan nasib rakyat, tetapi sebenarnya mereka tidak pernah hidup dekat dengan rakyat yang mereka bela,” kira-kira begitu ucapan salah satu pembicara dalam forum diskusi publik yang diselenggarakan oleh BO Economica FE UI (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (2/08/2010). Selain itu, penuturan mantan wakil Presiden Muh. Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa mahasiswa Makassar itu adalah manusia primitif (31/7/2010), mewakili segelintir orang dalam melihat dan menilai dari satu sudut pandang tentang mahasiswa.
Di sisi lain, sebagian orang mengganggap mahasiswa adalah kaum intelektual yang berperan sebagai penyangga keberlangsungan hidup bangsa. Hal ini di lihat dari banyaknya prestasi yang di raih oleh kaum intelek muda ini. Salah satunya mengharumkan nama baik Indonesia di kanca dunia internasional, seperti 7 mahasiswa menyabet First Prize pada 17th International Mathematics Competition (IMC) yang di gelar American University in Bulgaria in Blagoevgrad city, 24-30 Juli 2010 yang diikuti oleh 392 mahasiswa dari 40 negara.
Terlepas dari sudut pandang mana orang menilai hakekat mahasiswa. Sebagai agen perubah penulis berharap kepada kawan-kawan mahasiswa di samping berteriak atas nama rakyat dengan turun ke jalan, alangkah lebih baiknya lagi kalau di tambah dengan kemampuan kawan-kawan menjadi mahasiswa yang berprestasi di dunia kampus yang nantinya dapat menjadi harapan masyarakat. Sehingga mampu menciptakan kepedulian, sikap kritis terhadap peristiwa sosial yang melahirkan niat dan kemauan untuk turut berperan dalam memperbaiki Negri kita.
Kalau bukan dimulai dari generasi kita, lantas siapa lagi yang akan memulainya. Terlepas dari sudut pandang mana orang menilai mahasiswa. Inilah saatnya bagi kita untuk memberikan sebuah bukti sebagai seorang mahasiswa bagi rakyat Indonesia.